Kuangsing: Festival Pacu Jalur di Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, bukan sekadar adu cepat perahu panjang. Di balik gemuruh sorak-sorai dan tren 'aura farming' yang kini mendunia, tersimpan makna filosofis serta pembagian peran yang unik dalam setiap jalur.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Roni Rakhmat menjelaskan setiap elemen yang membentuk kekuatan dan keunikan Pacu Jalur ini. Dia menerangkansetiap jalur merupakan representasi mini dari kehidupan masyarakat. Adapun harmoni dan kerja sama adalah kunci utama dalam mencapai kemenangan, baik di lintasan pacu maupun dalam kehidupan sehari-hari.
"Setiap individu di dalam jalur memiliki peran krusial, mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Melayu Riau, khususnya di Kuansing," kata Roni, di Riau, Kamis, 10 Juli 2025.
Unsur pertama adalah anak pacuan, yang bertanggung jawab mendayung jalur secepat mungkin menuju garis finis. Mereka adalah orang dewasa yang mengenakan pakaian olahraga, mendayung serentak sebagai simbol gotong royong.
"Filosofinya adalah bahwa hidup di kampung harus seiya sekata, penuh dengan gotong royong, saling bahu membahu dan tolong menolong demi mencapai keuntungan bersama," jelas dia.
Kemudian ada tukang tari atau anak joki, yang posisinya berada paling depan atau di haluan jalur. Peran anak joki adalah memberikan irama yang seimbang dan menjadi penanda posisi jalur.
Umumnya diperankan oleh anak-anak berusia 10-13 tahun. Filosofinya menggambarkan semangat kuat anak-anak Kuansing yang mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup.
"Apabila tukang tari ini sudah berdiri dan menari-nari, itu menunjukkan haluan jalurnya dalam posisi menang atau berada di depan haluan jalur lawan," ungkap dia.
Kemudian di bagian tengah jalur, terdapat tukang timbo ruang. Tugas utamanya adalah memberikan semangat serta aba-aba kepada anak pacuan untuk mengencangkan dayung atau menambah tenaga.
"Tukang timbo ruang juga bertugas menimba air yang masuk ke dalam jalur dan membuangnya keluar jalur," ujar dia.
Peran ini biasa dipegang orang dewasa dengan pakaian Melayu Riau, melambangkan sosok pemimpin di suatu daerah yang harus diikuti untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Terakhir adalah tukang onjai, yang berposisi paling belakang jalur. Tugasnya adalah memberikan daya dorong dengan menekan atau 'ma onjai' agar jalur melaju kencang, sekaligus memastikan jalur tetap lurus di lintasan.
"Tukang onjai ini juga melihat apakah jalurnya masih berjalan lurus pada lintasan pacu atau sebaliknya," jelasnya.
Untuk tukang joki, kata dia, dahulu diperankan orang dewasa. Tapi kini banyak diambil alih oleh anak-anak berusia 13-15 tahun, mengenakan pakaian Melayu Riau, melanjutkan tradisi dengan sentuhan generasi muda.
Ia menambahkan, bahwa setiap peran tersebut saling melengkapi dan tak terpisahkan. Keseluruhan unsur ini membentuk satu kesatuan yang harmonis, menunjukkan betapa kompleks namun indahnya filosofi yang terkandung dalam setiap gerak Pacu Jalur.
Keunikan peran-peran inilah yang menjadikan Pacu Jalur bukan hanya olahraga, tetapi juga sebuah pertunjukan budaya yang kaya akan makna. Dengan adanya pembagian peran yang terstruktur dan filosofi yang kuat, tidak heran jika pacu jalur terus menarik perhatian, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Ia berharap, pemahaman mendalam tentang setiap elemen ini dapat semakin meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya kebanggaan Provinsi Riau. (MI/RK)