Pemaksaan Siswa Sujud dan Gonggong Disebut Menimbulkan Trauma Mendalam

Influencer Rheo Kokohealing. (tangkapan layar)

Pemaksaan Siswa Sujud dan Gonggong Disebut Menimbulkan Trauma Mendalam

Siti Yona Hukmana • 17 November 2024 12:40

Jakarta: EV, seorang siswa SMK Gloria 2 Surabaya dipaksa besujud dan menggonggong usai mengejek rambut siswa SMA Cita Hati mirip anjing pudel. Meski perbuatannya salah, tindakan pemaksaan sebagai bentuk permintaan maaf itu dinilai menimbulkan trauma mendalam.

"Kalau menyebabkan trauma ya pasti bakal menyebabkan trauma ya. Kan katanya juga sekarang anaknya jadi takut banget kan. Terus denger-denger lagi di rumah sakit katanya gara-gara takut gitu," kata Influencer Rheo Kokohealing dalam program Crosscheck Medcom.id, Minggu, 17 November 2024.

Rheo mengatakan peristiwa yang mengancam jiwa intensitas emosinya pasti sangat tinggi. Hal itu, kata dia, bisa mengakibatkan pattern traumatik yang tersimpan di dalam tubuhnya.

"Sehingga akhirnya bisa berkepanjangan," ujar Rheo.

Begitu pula pelaku, Rheo menyebut pelaku punya pola traumatiknya sendiri. Hal itu terlihat dari implikasi kepada respons yang menyuruh korban bersujud dan menggonggong.

"Karena sesuatu yang otonom yang sulit dikendalikan itu adalah pola traumatik dalam tubuh sebenarnya. Kalau ditanya, ditelusurin pasti nanti akan ketemu. Jadi kayak apa yang menjadi penyebabnya? kekerasan mungkin ini dia alami di masa kecil," ungkap Rheo.

Baca: 

Pola-Pola Pengasuhan Agar Anak Tak Jadi Pelaku dan Korban Perundungan


Menurut Rheo, pengalaman masa kecil atau inner child yang rusak mengakibatkan seseorang bertindak tidak baik saat dewasa. Hal ini diakui Rheo banyak ditemukan pada kliennya. Bahkan, ada yang gampang meledak kepada anaknya sendiri.

"Nah,ketika ditelusuri ternyata waktu kecil dia pernah mamanya itu pas lagi ada kebutuhan karena kakaknya lagi sakit banget. Sakit keras. Butuh banget dana buat operasi. Sama disuruh nunduk buat minjem uang sama saudaranya. Dia bilang kalau mau kamu harus nunduk di sini sekarang," ujar pria yang akrab disapa Coach Rheo itu.

Menurutnya, dengan pengalaman masa kecil itu dia akan berjuang saat dewasa untuk sukses dan tidak boleh ada siapapun yang merendahkannya. Termasuk orang tuanya, seumur hidup dia.

"Nah, ketika itu jadi komitmen di dalam hatinya dia. Begitu ada kejadian-kejadian kayak gini nih misalnya. Itu pasti akan sangat-sangat defensif sekali, karena dia keikat lagi kejadian sama mamanya waktu dulu," ujar Rheo.

Oleh karena itu, Rheo mengatakan setiap orang punya struktur trauma sendiri. Ada orang yang biasa saja ketika direndahkan, dan ada orang yang emosi ketika direndahkan. Termasuk pelaku, yang tidak terima rambut anaknya diejek bak anjing pudel.

Rheo meyakini pelaku tidak dalam keadaan sadar saat memaksa korban bersujud dan menggonggong. Sebab, kepalanya tengah penuh dengah emosional. Hal itu, kata dia, terlihat dari permintaan maaf pelaku Ivan Sugianto yang diunggah beberapa waktu lalu.

Menurutnya, Ivan seperti orang yang berbeda total. Karana dalam permintaan maaf itu Ivan terlihat benar-benar menangis dan seperti orang yang merasa bersalah.

"Orang akan bilang oh nih acting banget. Tapi sebenarnya bisa jadi dia bukan lagi acting, tapi dia lagi menjadi dirinya yang sesungguhnya yang vulnerable banget. Yang tadinya pas dia lagi powerful, yang lagi meledak-ledak itu sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Kadang klien sering bilang, lu belum lihat aja aslinya gue," terang sosok yang dikenal sebagai luck & happiness expert itu.

Kasus ini berawal saat seorang wali murid SMA Cita Hati, Ivan Sugianto yang melabrak siswa SMA Gloria 2 Surabaya dengan arogan pada pertengahan Oktober 2024. Oknum wali murid itu memaksa siswa yang dilabrak untuk bersujud dan menggonggong. Saat itu Ivan datang ke sekolah korban dengan dikawal sejumlah preman.

Permasalahan ini muncul dari pertandingan basket antara SMA Gloria 2 melawan SMA Cita Hati. Saat itu korban mengejek rambut anak pelaku, dengan menyebut seperti rambut pudel. Selaku orang tua, Ivan kemudian marah setelah dilapori anaknya.

Korban berinisial EV dan keluarga melaporkan aksi itu ke kepolisian agar mendapat keadilan. Berdasarkan laporan itu polisi akhirnya menetapkan Ivan sebagai tersangka dan ditangkap.

Akibat perbuatannya, tersangka Ivan disangkakan Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 335 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Lukman Diah Sari)