Presiden Joko Widodo. (tangkapan layar)
Sri Utami • 6 December 2023 15:27
Jakarta: Berbagai isu yang menyudutkan Presiden Joko Widodo disebut sebagai kritik yang sifatnya mengungkit masa lalu termasuk pernyataan dari mantan Ketua KPK Agus Rahardjo. Pakar politik Universitas Airlangga Kris Nugroho mengatakan kritik yang beruntun tersebut bagian dari suatu eskalasi ketidakpuasan terhadap Jokowi selama ini.
"Jadi ini dilihat sebagai titik nadir dari Jokowi yang membalikkan harapan publik yang besar kepada dia sebagai tokoh sipil yang bisa diharapkan mempertahankan jalur proses demokrasi. Bukan saja prosedural tapi betul-betul melakukan kekuatan sipil tapi tiba-tiba itu buyar," jelasnya saat dihubungi, Rabu, 6 Desember 2023.
Berbagai kritik tersebut memang akan berdampak pada turunnya tingkat kepuasan dan kepercayaan publik kepada Jokowi. Publik dapat menilai sepak terjang Jokowi selama ini dikalahkan dengan ego politik Jokowi yang teramat besar.
"Menurut saya sesadar sadarnya Jokowi sebagai elit politik, orang yang punya ambisi politik jauh lebih besar. Jadi dalam konteks tertentu melanggar etika politik. Contoh soal MK dan Gibran, Jokowi sadar dan tahu bahwa itu tidak etis secara moral politik lalu Kaesang juga sama. Dia sadar dan mengendalikan proses itu," paparnya.
Situasi politik tersebut yang terjadi secara terang benderang disaksikan oleh publik yang kemudian menimbulkan gejolak. Wujud sikap publik khususnya protes diakuinya sulit untuk dilakukan di luar jalur konstitusi.
"Itu sebagai bentuk tekanan politik secara konstitusional melalui hak salah satunya yang dicetuskan di DPR dengan hak interpelasi," ujar dia.
Baca juga: Presiden Jokowi Terbuka atas Penolakan Revisi UU MK |
Sementara itu Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago memandang salah satu pernyataan yang menyudutkan Jokowi, yakni yang pernah disampaikan Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tentang bangkitnya orde baru.
"Saya membaca Mega hanya menjaga militansi kader saja agar solid. Dan juga aksi itu kekesalan saja karena Ganjar-Mahfud juga kebingungan dengan narasi memainkan narasi politik. Mainkan keberlanjutan atau perubahan," ungkapnya.
Pernyataan tentang orde baru menurutnya tidak menguntungkan PDIP. Sebab partai tersebut tetap harus menjaga elektabilitas dan militansi kadernya.
"Soal orba saya kurang sepakat karena itu muncul dari PDIP yang jabatan strategis masih dipegang oleh PDIP di kabinet. Kecuali partai oposisi," kata dia.