Indonesia Kudu Genjot Kualitas Produksi CPO, Jangan Cuma Gemar Ekspor Doang!

Ilustrasi perkebunan sawit. Foto: Metrotvnews.com

Indonesia Kudu Genjot Kualitas Produksi CPO, Jangan Cuma Gemar Ekspor Doang!

M Ilham Ramadhan Avisena • 20 June 2025 17:11

Jakarta: Rencana penguatan kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Rusia di sektor minyak kelapa sawit (CPO), pupuk, dan daging dinilai menjanjikan. Namun di balik peluang tersebut, pemerintah diminta untuk tidak abai terhadap keberlanjutan dan kemandirian sektor domestik.

Peneliti Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Eliza Mardian menilai ekspor CPO ke Rusia memang tumbuh signifikan dan menunjukkan tren positif dalam empat tahun terakhir. Pada 2024, Rusia tercatat sebagai pasar tujuan ekspor kelapa sawit Indonesia ke-8, dengan nilai mencapai USD538 juta atau 2,7 persen dari total ekspor.

"Terkait CPO memang Rusia sudah menjadi mitra kita, tahun 2024 nilai ekspor palm oil ke Rusia di urutan ke-8 dengan USD538 juta, atau 2,7 persen dari total ekspor palm oil Indonesia. Rusia selama ini paling banyak mengekspor dari Indonesia dan dalam empat tahun terakhir nilai ekspor kita meningkat," kata Eliza saat dihubungi, Jumat, 20 Juni 2025.

Kendati pasar Rusia menjanjikan, Eliza mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara ekspansi pasar dan produktivitas. Ia menekankan risiko perluasan lahan yang dapat merusak hutan jika tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas melalui intensifikasi.

"Jika ekspansi tidak diimbangi peningkatan produktivitas, kemungkinan yang akan dilakukan untuk menambah produksi malah mendorong perluasan lahan (ekstensifikasi) yang akan mengorbankan hutan, bukan intensifikasi," ujar dia.

Apalagi, kebutuhan domestik atas CPO juga meningkat dengan diberlakukannya kebijakan B40 dan target B50 tahun depan, sehingga ekspor harus direncanakan secara terukur. Eliza juga menyarankan Indonesia tidak hanya fokus mengekspor CPO mentah, melainkan memperkuat industri hilir.

"Sebaiknya kita mengekspor produk turunan yang bernilai tambah tinggi dan menarik investasi untuk membangun industri oleokimia dan oleofood," tutur dia.
 

Baca juga: Pengusaha Girang Mimpi Swasembada Pangan RI 'Dibantuin' Rusia


(Ilustrasi kelapa sawit. Foto: Dokumen Ditjenbun Kementan)
 

Jangan terus bergantung impor bahan baku


Terkait kerja sama pupuk, Eliza menyebut pasokan bahan baku dari Rusia bisa menjadi langkah positif untuk menekan biaya produksi dan membuat harga pupuk lebih terjangkau bagi petani. Namun ia menilai riset pengembangan pupuk lokal tetap dibutuhkan agar Indonesia tidak terus bergantung pada impor bahan baku.

Itu diharapkan akan membuat harga pupuk lebih kompetitif dan terjangkau bagi petani karena biaya bahan bakunya dapat ditekan. Selain itu, imbuh Eliza, perlu adanya kerja sama riset dalam pengembangan pupuk yang bisa sesuai dengan bahan baku yang tersedia di dalam negeri.

Sementara untuk isu impor daging dari Rusia, Eliza mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Ia mencontohkan negosiasi dagang dengan India yang berujung pada masuknya gula rafinasi dan daging kerbau, yang kurang diminati konsumen dan merugikan peternak lokal.

"Kita perlu berhati-hati, jangan sampai diversifikasi pangsa pasar impor malah semakin membuat ketergantungan dan menjadi disinsentif bagi industri peternakan lokal kita. Jangan sampai membuat kemampuan produksi dalam negeri semakin mundur karena orientasinya terlalu pro konsumen, bukan produsen," kata Eliza.

Menurutnya, pemerintah perlu menyeimbangkan antara kepentingan konsumen dan produsen. Jika terlalu pro-konsumen, sektor pertanian akan sulit berkembang dan ketergantungan terhadap impor akan makin besar.

"Jika keberpihakan pemerintah terhadap produsen dalam negeri kurang memadai, yang terjadi adalah kita semakin ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sektor pertanian tidak tumbuh optimal. Sektor pertanian ini strategis, menyerap tenaga terbesar dan top three engine ekonomi kita," tutur dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)