Ditetapkan Sebagai PSN, Pemerintah Harus Serius Dorong Bioethanol Sebagai BBN

Ilustrasi pengisian bahan bakar. Medcom

Ditetapkan Sebagai PSN, Pemerintah Harus Serius Dorong Bioethanol Sebagai BBN

Achmad Zulfikar Fazli • 26 January 2025 16:27

Jakarta: Pemerintah diharapkan serius mendorong pengembangan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Terlebih, bioethanol sudah ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Fabby menegaskan dengan ditetapkannya bioethanol sebagai salah satu PSN, pemerintah harus bersedia melakukan intervensi di bidang bahan baku.

“Perlu keseriusan Pemerintah. Hal yang utama adalah Pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku),” ujar Fabby, Jakarta, Minggu, 26 Januari 2025.

Menurut dia, keseriusan pemerintah memang sangat dibutuhkan. Sebab, terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi.  

Tantangan pertama, tanaman yang menjadi sumber bahan baku bioethanol di Indonesia sangat sedikit ketimbang kelapa sawit. Sehingga, pengembangan biodiesel B40 lebih mudah dan cepat, karena tinggal menghitung berapa banyak BBN dan berapa yang diekspor. Hal itu yang membedakan dengan bioethanol. 

“Sekarang kita lihat bioethanol. Ethanol itu kan dihasilkan dari tanaman juga seperti tebu, jagung, sorgum maupun singkong.  Masalahnya, feedstock-nya tidak cukup. Gula saja masih impor kok. Sedangkan untuk ethanol diambil molasenya juga enggak cukup dengan bahan baku yang ada,” kata Fabby.

Tantangan kedua, untuk menghasilkan ethanol dengan standar fuelgrade juga tidak mudah, karena yang dibutuhkan adalah ethanol 99 persen. “Meski bukan hal sulit dipelajari. Tetapi untuk menghasilkan ethanol fuelgrade tetap membutuhkan intervensi Pemerintah,” ujar dia.

Tantangan ketiga, soal harga. Menurut Fabby, harga ethanol di pasar internasional kemungkinan besar lebih tinggi dari harga minyak, karena ethanol juga menjadi bahan baku untuk industri dan pangan. 

Fabby mengingatkan, dalam pengembangan bioethanol, tidak terdapat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) seperti pada biodiesel. Pada biodiesel, jika harga FAME terlalu mahal, misalnya, maka subsidi bisa dihimpun dari badan tersebut, yang dihimpun dari pengusaha sawit.  

“Karena itulah, jadi kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi),” ujar Fabby.
 

Baca Juga: 

Ekonom: Pengembangan Bioethanol Harus dengan Harga Terjangkau


Dia mengatakan jika Indonesia tetap ingin mengembangkan bioethanol, pemerintah harus mengintervensi tiga tantangan tersebut. Terutama, pengadaan bahan baku yang masih sedikit. 

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara. Menurut dia, pemerintah harus serius mendorong pengembangan bioethanol. Pemerintah, kata Marwan, harus terlibat aktif, misalnya dengan mengerahkan potensi BUMN sehingga bisa menyediakan bahan baku bioethanol dengan skala massal.

“Kita bisa enggak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (ethanol) berharga murah,” kata Marwan.

Menurut dia, kondisi itu yang membedakan dengan biodiesel. Biodiesel, kata dia, didukung perkebunan kelapa sawit yang menurut data resmi pemerintah pada 2023 seluas 16,3 juta hektare di 26 provinsi. 

“Kalau bioethanol, kebun singkong atau tebu kita dari sisi produksi saat ini tidak akan bisa mengimbangi produksi CPO. Itu dasarnya. Kecuali kalau pemerintah memang mau intensif menanam singkong atau tebu dengan luas lahan jutaan hektare,” kata dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)