Ilustrasi. Foto: dok Istimewa.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami penguatan, di tengah perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) imbas pengenaan tarif Trump ke berbagai negara.
Mengutip data Bloomberg, Kamis, 10 Juli 2025, rupiah hingga pukul 09.55 WIB berada di level Rp16.217 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat sebanyak 40,5 poin atau setara 0,25 persen dari Rp16.257,5 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.249 per USD. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.240 per USD hingga Rp16.300 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Investor hati-hati tarif Trump lanjutan
Ibrahim mengungkapkan, pergerakan rupiah hari ini akan dipengaruhi oleh sentimen kehati-hatian para investor yang menunggu pengumuman tarif perdagangan lebih lanjut dari Presiden AS Donald Trump. Pada Senin, Trump mulai mengirimkan surat tarif, memberitahu 14 negara bea masuk yang jauh lebih tinggi akan berlaku pada 1 Agustus 2025.
Dari 14 negara, sembilan berada di Asia. Surat tarif tersebut menguraikan pungutan sebesar 25 persen untuk semua barang dari Jepang dan Korea Selatan, sementara beberapa negara yang lebih kecil menghadapi tarif hingga 40 persen.
Pada Selasa, Trump mengatakan akan mengenakan
tarif 50 persen untuk tembaga impor dan akan segera menerapkan bea masuk yang telah lama dijanjikan untuk semikonduktor dan farmasi. Selain itu, ia berencana untuk merilis daftar tujuh negara yang berkaitan dengan perdagangan pada Rabu pagi, dan negara-negara tambahan pada sore hari.
Hari ini fokus pasar adalah risalah rapat Federal Reserve terbaru yang akan dirilis Kamis. Laporan ini akan menguraikan alasan The Fed untuk mempertahankan suku bunga pada kisaran saat ini 4,25 persen hingga 4,50 persen pada pertemuannya di Juni.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Masyarakat Indonesia pesimis soal lapangan kerja
Di sisi lain, Ibrahim juga menyoroti hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan persepsi masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja semakin pesimis, begitu pula dengan menurunnya keyakinan terhadap ekspektasi penghasilan.
"Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah akan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih banyak di masa mendatang bahkan bengkaknya jumlah pengangguran," jelas dia.
Menurut Ibrahim, kekhawatiran masyarakat tersebut tidak boleh dianggap remeh dan justru menjadi indikator penting. Ini mencerminkan masyarakat mulai merasakan atau memproyeksikan tekanan di pasar tenaga kerja, entah karena rekrutmen yang melambat, banyaknya PHK, atau kualitas pekerjaan yang makin tidak menjanjikan.
Mengacu survei BI, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja [IKLK] saat ini dibandingkan enam bulan lalu, tercatat pada zona pesimis (<100), yakni sebesar 94,1 per Juni 2025. Bahkan indeks tersebut menurun dari bulan sebelumnya yang sebesar 95,7.
Ekspektasi penghasilan yang menurun juga memperkuat pandangan masyarakat tidak melihat adanya perbaikan signifikan dalam prospek ekonomi keluarga mereka. Hal ini semakin diperjelas dengan perubahan perilaku keuangan rumah tangga. Ketika porsi konsumsi meningkat sementara tabungan menurun, itu bisa jadi menandakan dua hal.
"Pertama, konsumsi yang naik bisa bersifat terpaksa, bukan karena daya beli yang kuat, tapi karena kebutuhan dasar harus dipenuhi di tengah pendapatan yang stagnan atau menurun. Kedua, berkurangnya tabungan menunjukkan ruang fiskal rumah tangga yang makin sempit, sehingga menyentuh dana cadangan, bahkan mungkin berutang, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari," papar Ibrahim.