Ketua Banggar DPR Said Abdullah. Dok. Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 23 July 2025 10:58
Jakarta: Sejak pecah perang tarif antara China dan Amerika Serikat (AS) pada 2018, dan berlanjut hingga kini, bahkan eskalasinya meluas ke banyak negara pasca Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif ke banyak negara, sesungguhnya Indonesia menuju tatanan internasional yang tak beraturan.
Dulu tahun Indonesia memulai hubungan internasional agar lebih berkembang bersama dengan bernaung bersama melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Kesepakatan dagang dan tarif ini dibuat karena banyak negara memberlakukan proteksi ekonominya pascadepresi besar pada 1930. GATT dibentuk dengan prinsip non diskriminasi, transparan dan memberlakukan setara antara produk ekspor dan impor. GATT tumbuh dan berkembang menjadi World Trade Organization (WTO) di 1995
Negara maju, seperti AS dan Eropa, saat itu gencar mendorong perdagangan bebas di semua kawasan. Mereka memandang kebijakan tarif sebagai bentuk distori dari perdagangan yang harusnya bebas, sebagai mekanisme pasar. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia khawatir, era perdagangan bebas akan melibas barang-barang mereka yang belum dianggap kompetitif, dan menguasai pasar domestik.
Sejalan waktu bergulir, semua negara 'dipaksa' oleh negara-negara maju untuk masuk keanggotaan WTO dan ikut arena perdagangan bebas. Tentu saja, diawal kepesertaannya pada WTO, negara-negara berkembang seperti Indonesia 'babak belur' seperti pertarungan Daud dan Goliat di gelanggang perdagangan bebas, karena ketimpangan kualitas produk, harga, dan kapasitas produksi.
Sejak WTO berdiri telah 631 kasus sengketa perdagangan international diadili. Sebanyak 503 kasus di antaranya masuk level banding. Waktu terus berjalan, rezim WTO telah menjadi ruang yang lazim diakui sebagai mekanisme internasional. Negara-negara berkembang dipaksa tumbuh lebih cepat dan berkualitas agar bisa bersaing di arena perdagangan bebas. Sebagian negara berkembang bahkan mampu menyalip negara-negara maju.
Vietnam, Thailand, termasuk Indonesia, contoh negara berkembang yang mampu bersaing di era WTO berkuasa. Bahkan, China menjadi penguasa baru dalam perdagangan internasional. Pada 2024, nilai perdagangan global China mencapai USD6,164 bilion, mengalahkan AS USD5,424 billion.
Anehnya, saat AS mulai tersalip, dan produk manufaturnya kalah bersaing, yang berdampak neraca perdagangan mereka defisit, lalu dengan seenaknya secara sepihak memberlakukan tarif kepada banyak negara. Lucu sekaligus sedih, tidak ada satupun negara yang membawa kasus ini ke sidang WTO. Semua ramai ramai berunding dengan AS dengan posisi tawar yang lemah. Jadinya bukan berunding, tetapi mengiba belas kasih. Hanya China yang bertahan, teguh dalam meladeni AS di arena perang tarif.
"Saya mengajak semua negara untuk berfikir secara multilateral. Saatnya WTO membuktikan diri mereka duduk untuk kepentingan internasional. Dulu, awal pembentukannya, negara-negara berkembang menuding WTO sebagai alat negara negara maju untuk mendorong semua negara masuk era perdagangan bebas, agar mereka menguasai pasar internasional. Dan yang tidak masuk arena perdagangan bebas di kucilkan dan di sanksi," ujar Ketua Banggar DPR Said Abdullah, dalam keterangannya, Rabu, 23 Juli 2025.
Baca Juga:
Kesepakatan Tarif 19 Persen bagi Indonesia, Bikin AS Menang Besar |
Dia menjelaskan kini ketika era perdagangan bebas telah berjalan, hanya karena kalah bersaing, AS menutup diri lewat tarif. Menurut dia, ini jelas saja ini menyalahi rukun iman perdagangan bebas, yakni perdagangan tanpa hambatan tarif.
"Kenapa WTO diam? Diamnya WTO makin menegaskan kelembagaan WTO hanya diperlukan bila sejalan dengan kepentingan negara-negara maju seperti AS, bila tidak sejalan tidak diperlukan lagi," tegas dia.
Menurut dia, saatnya para pemimpin dunia untuk menghimpun kembali komitmen internasionalnya. Kemudian, menguatkan kembali kelembagaan internasional, seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia sebagaimana fungsinya, agar tidak ada lagi satu atau dua negara yang dengan bebas berlaku sewenang-wenang, dan egois.
"Kalau memang dunia sudah tidak memerlukan keberadaan lembaga-lembaga internasional tersebut, lebih baik dibubarkan. Daripada keberadaannya seperti tidak ada. Buat apa kita iuran ada WTO, IMF dan Bank Dunia kalau nyatanya mall function. Malah habiskan biaya tiada guna," ucap dia.
Dia juga mendorong setiap negara menyelesaikan problem keuangan, perdagangan dan ekonominya secara bilateral, dan regional sesuai kepentingan masing-masing, seperti melalui G20, BRICS maupun ASEAN. "Tapi kalau kita memandang penting, masih ada secercah harapan, mari kita bergandengan lebih erat, membulatkan tekad, kuatkan dan sempurnakan kembali WTO, IMF dan Bank Dunia sebagai jalur penyelesaian internasional yang lebih adil," kata dia.