Pengunjuk rasa di Nepal. (PTI)
Riza Aslam Khaeron • 11 September 2025 15:53
Jakarta: Gelombang demonstrasi besar melanda Nepal sejak 8 September 2025. Awalnya dipicu oleh pembatasan media sosial, protes ini ternyata mengakar pada ketidakpuasan publik yang telah lama mendidih—terutama dari kalangan anak muda. Mereka mengangkat satu simbol yang menggambarkan inti keresahan sosial: nepo kids.
Melansir The New York Times, tagar #nepokids membanjiri media sosial Nepal dalam pekan-pekan sebelum pecahnya kerusuhan, menyorot gaya hidup anak-anak pejabat yang mencolok di tengah kesenjangan sosial yang mencengangkan.
Berikut penjelasan lengkap tentang apa itu gerakan nepo kid, dan bagaimana simbol ini membakar amarah publik Nepal hingga memicu bentrokan massal.
Apa Itu Gerakan Nepo Kids?
Gambar: Contoh gerakan Nepo Kids di media sosial Nepal. (X)
Gerakan
Nepo Kids adalah bentuk perlawanan sosial yang dipicu oleh kemarahan generasi muda (khususnya Gen Z)
Nepal terhadap ketimpangan struktural, privilese politik, dan gaya hidup mewah anak-anak elite yang dinilai tidak sebanding dengan realitas hidup mayoritas rakyat.
Istilah nepo kid digunakan secara sarkastik untuk menyindir anak-anak elite politik Nepal yang hidup dalam kemewahan berkat koneksi keluarga, kontras dengan kenyataan hidup mayoritas.
Melansir
The New York Times, menjelang pecahnya demonstrasi, media sosial
Nepal dipenuhi oleh unggahan yang menampilkan gaya hidup mewah anak pejabat: mulai dari kotak-kotak Louis Vuitton dan Cartier yang disusun seperti pohon Natal oleh seorang anak menteri, hingga video anak mantan hakim yang berpose di samping mobil Mercedes dan bersantap di restoran kelas atas.
Pemandangan-pemandangan ini memicu kemarahan luas. Foto-foto anak pejabat yang berfoya-foya disandingkan dengan potret rakyat miskin yang berjuang bertahan hidup menciptakan kontras sosial yang menggugah emosi. Tagar #nepokids—singkatan dari nepotism kids—segera menjelma menjadi ikon perlawanan terhadap sistem yang tidak adil.
“Ribuan video semacam itu sedang tren di seluruh ekosistem digital Nepal,” ujar Raqib Naik, Direktur Eksekutif Center for the Study of Organized Hate, lembaga berbasis di Washington yang memantau ekstremisme dan disinformasi di Asia Selatan serta diaspora.
“Kontras antara privilese elite dan kesulitan hidup sehari-hari menggugah generasi Z dan dengan cepat menjadi narasi sentral yang mendorong gerakan ini,” tambahnya.
Fenomena
nepo kids ini menggemakan istilah nepo babies yang sempat ramai di Barat—merujuk pada anak selebritas yang mendapat kemudahan karier berkat koneksi keluarga. Namun di
Nepal, istilah tersebut mengandung muatan politik dan ekonomi yang jauh lebih dalam.
Kemarahan publik terhadap elite dipicu oleh sejarah panjang korupsi dan budaya impunitas. Transparency International mencatat
Nepal sebagai salah satu negara paling korup di Asia. Salah satu skandal besar yang memicu kemarahan adalah penggelapan dana sebesar USD 71 juta dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Pokhara.
Kasus lain melibatkan pejabat yang memungut biaya dari warga muda
Nepal dengan dalih program pengungsi ke Amerika Serikat—menyalahgunakan kuota yang diperuntukkan bagi komunitas etnis Nepal dari Bhutan.
Ketidakpuasan publik semakin dalam ketika kekayaan elite diwariskan kepada anak-anak mereka dalam jumlah yang sangat besar, mencakup kepemilikan properti dan aset mewah, tanpa transparansi tentang asal-usulnya.
Penegakan hukum yang dianggap lemah hanya memperparah persepsi publik bahwa sistem ini dikuasai oleh segelintir orang yang tak tersentuh hukum.
Pemerintah merespons meningkatnya ketegangan dengan melarang akses sementara ke media sosial—tindakan yang justru memperkeruh suasana. Banyak warga menganggap larangan tersebut sebagai upaya pembungkaman terhadap suara-suara kritis, bukan solusi atas persoalan mendasar.
Walaupun larangan itu akhirnya dicabut, momentum kemarahan telah telanjur menyatu dalam gelombang protes yang kini menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah Nepal pasca-reformasi.