Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakut Ditetapkan ABH, Begini Mekanisme Hukumnya

Ilustrasi. Foto: Medcom

Terduga Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakut Ditetapkan ABH, Begini Mekanisme Hukumnya

Riza Aslam Khaeron • 11 November 2025 19:26

Jakarta: Seorang siswa yang diduga menjadi pelaku dalam peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, resmi ditetapkan sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Penetapan ini diumumkan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, pada Selasa, 11 November 2025.

"Berdasarkan hasil lidik sementara, anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH diketahui seorang siswa aktif yang bertindak mandiri dan tidak terhubung dengan jaringan teror," ujar Asep.

Ledakan tersebut terjadi pada Jumat siang, 7 November 2025, di dalam masjid sekolah saat khotbah salat Jumat berlangsung. Akibat peristiwa itu, sebanyak 96 orang mengalami luka-luka.

Densus 88 Antiteror Polri mengungkap bahwa ditemukan tujuh benda peledak yang dibawa oleh terduga pelaku.

Penetapan status ABH menandai bahwa proses hukum terhadap pelaku akan mengikuti sistem peradilan pidana anak sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia. Berikut pelaksanaannya.
 

Mekanisme Hukum ABH

Penetapan status Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) pada pelaku ledakan SMAN 72 Jakarta berarti seluruh proses hukum yang dijalankan harus mengikuti sistem peradilan pidana anak berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Tujuan utama sistem ini adalah melindungi hak anak dan memprioritaskan keadilan restoratif.

1. Batas Usia dan Pertanggungjawaban Pidana

Sesuai Pasal 1 angka 3 UU SPPA, anak yang dapat dikenai proses hukum pidana adalah yang berusia minimal 12 tahun dan belum berusia 18 tahun. Berikut rinciannya:

  • Di bawah 12 tahun: Tidak dapat dipidana, hanya dapat dikenai tindakan sesuai Pasal 21 UU SPPA dan PP No. 65 Tahun 2015.
  • Usia 12–14 tahun: Tidak boleh dijatuhi pidana penjara. Hanya tindakan pembinaan yang boleh dijatuhkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA.
  • Usia 14–18 tahun: Dapat dijatuhi pidana atau tindakan sesuai ketentuan UU SPPA.
     
2. Diversi sebagai Upaya Wajib

Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA mewajibkan setiap proses hukum anak untuk mengupayakan diversi, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan. Diversi dapat dilakukan di tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Syaratnya adalah tindak pidana:

  • Diancam pidana penjara kurang dari 7 tahun;
  • Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
     
3. Jenis Sanksi dalam Sistem Peradilan Anak

Pasal 71 UU SPPA mengatur bahwa sanksi pidana untuk anak terdiri dari:

  • Pidana pokok:
    • Pidana peringatan;
    • Pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan);
    • Pelatihan kerja;
    • Pembinaan dalam lembaga;
    • Penjara (jika merupakan upaya terakhir atau ultimum remedium).
       
  • Pidana tambahan:
    • Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
    • Pemenuhan kewajiban adat.
Pasal 79 dan 81 UU SPPA juga membatasi ancaman pidana:
  • Anak hanya dapat dijatuhi hukuman maksimal setengah dari ancaman pidana untuk orang dewasa;
  • Ancaman pidana minimum khusus tidak berlaku untuk anak;
  • Anak tidak dapat dijatuhi pidana mati atau seumur hidup (Pasal 82).
     
Baca Juga:
Siswa Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta Ditetapkan Sebagai ABH

4. Penahanan, Pendampingan, dan Perlindungan Khusus

Pasal 32 UU SPPA mengatur bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan jika:

  • Anak telah berusia minimal 14 tahun;
  • Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara setara atau lebih dari 7 tahun.

Penahanan harus dilakukan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), bukan rumah tahanan biasa. Sepanjang proses hukum, anak wajib:

  • Didampingi penasihat hukum;
  • Dilindungi identitas dan privasinya;
  • Diperlakukan secara manusiawi dan sesuai dengan kepentingan terbaik anak (Pasal 3 dan 5 UU SPPA).

Dengan status ABH, aparat penegak hukum wajib tunduk pada prinsip perlindungan anak, menjamin bahwa proses penyidikan hingga pemidanaan dilaksanakan secara khusus dan tidak menyamakan anak dengan pelaku dewasa.

Semua upaya harus menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)