Trump Tetapkan Fentanyl sebagai Senjata Pemusnah Massal

Presiden AS Donald Trump berbicara di Ruang Roosevelt di Gedung Putih, di Washington, DC, AS, 22 September 2025. EFE/EPA/FRANCIS CHUNG

Trump Tetapkan Fentanyl sebagai Senjata Pemusnah Massal

Riza Aslam Khaeron • 16 December 2025 12:11

Washington DC: Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani perintah eksekutif pada Senin, 15 Desember 2025, yang menetapkan fentanyl sebagai "senjata pemusnah massal" (weapon of mass destruction).

Perintah tersebut mengklasifikasikan opioid sintetis itu bukan hanya sebagai narkotika mematikan, tetapi juga sebagai senjata kimia potensial.

"Fentanyl ilegal lebih menyerupai senjata kimia daripada narkotika," sebut Trump

Ia menilai zat tersebut dapat disalahgunakan untuk serangan teror berskala besar.

Gedung Putih menyebut langkah ini sebagai upaya untuk "menggunakan seluruh instrumen guna memerangi kartel dan jaringan asing yang bertanggung jawab membanjiri komunitas dengan zat mematikan ini", sembari memperingatkan bahwa fentanyl bisa dipersenjatai untuk "serangan teror berskala besar oleh kelompok lawan terorganisasi."

Perintah eksekutif tersebut juga mengarahkan Pentagon dan Departemen Kehakiman AS untuk mengambil langkah tambahan guna memerangi produksi dan distribusi fentanyl. Namun, dampak kebijakan langsung dari penetapan ini belum sepenuhnya jelas.

Perintah tersebut diterbitkan di tengah meningkatnya penggunaan pendekatan militeristik dalam penanganan penyelundupan narkotika.

Ancaman atau percobaan penggunaan senjata pemusnah massal sudah tergolong tindak pidana di Amerika Serikat. Sementara itu, definisi historis senjata pemusnah massal mencakup “perangkat radiologis, kimia, biologis, atau lainnya yang dimaksudkan untuk melukai banyak orang”, mengacu pada definisi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.
 

Klaim Fentanyl Sebagai Senjata Teror Diragukan

Namun, klaim bahwa fentanyl berpotensi dijadikan senjata untuk serangan teror berskala besar menuai keraguan dari sejumlah pakar kebijakan narkotika.

“Baik organisasi teroris maupun militer tidak menggunakan fentanyl sebagai senjata. Saya tidak melihat ini sebagai ancaman yang nyata,” kata Jonathan Caulkins, profesor di Carnegie Mellon University

Penetapan fentanyl sebagai senjata pemusnah massal muncul setelah pemerintahan Trump juga bergerak, pada tahun yang sama, untuk menetapkan kartel narkoba sebagai “organisasi teroris asing”. Langkah itu dijadikan dasar pembenaran untuk operasi militer terhadap jaringan kartel.

Sejak awal September 2025, pemerintah AS dilaporkan telah melakukan lebih dari 20 serangan terhadap kapal yang diduga terkait dengan jaringan narkoba di Karibia dan Pasifik, yang menewaskan lebih dari 80 orang.

Namun menurut laporan yang sama, para pakar militer menyebut kapal-kapal yang dioperasikan kartel di Karibia biasanya membawa kokain, bukan fentanyl.
 
Baca Juga:
Pesawat Militer AS Hampir Tabrak Penerbangan Komersial JetBlue

Selain itu, fentanyl lebih banyak dikirim ke Eropa daripada ke Amerika Serikat. Tidak banyak—atau bahkan tidak ada—bukti yang dipublikasikan bahwa kapal-kapal yang diserang benar-benar membawa narkotika.

Di tengah eskalasi tersebut, Trump juga beberapa kali mengancam akan melakukan serangan darat ke Venezuela, Kolombia, dan Meksiko dalam rangka memerangi perdagangan narkoba.

Dalam dokumen strategi yang dirilis pekan lalu, Trump menyatakan bahwa kebijakan luar negerinya akan difokuskan pada penegasan kembali dominasi Amerika Serikat di belahan Bumi Barat.

Meksiko disebut sebagai sumber utama fentanyl ilegal yang masuk ke AS, sementara bahan kimia pembuatnya banyak berasal dari Tiongkok. Opioid tersebut merupakan penyebab utama kematian akibat overdosis di AS, meskipun angka kematian disebut menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Trump selama ini sering menyebut fentanyl sebagai ancaman besar dan berupaya menanganinya melalui kebijakan perdagangan serta pengetatan hukuman pidana. Pemerintahannya juga pernah secara keliru menyalahkan penyelundupan fentanyl pada imigran tanpa dokumen, dan menggunakan isu ini sebagai pembenaran untuk memperketat penegakan kebijakan imigrasi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Arga Sumantri)