Airlangga Tuding Film Dirty Vote Kampanye Hitam

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Foto: Dok Kemenko Perekonomian

Airlangga Tuding Film Dirty Vote Kampanye Hitam

Indriyani Astuti • 12 February 2024 12:22

Jakarta: Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menuding film Dirty Vote sebagai kampanye hitam. Film tersebut memaparkan soal dugaan desain kecurangan Pemilu 2024.

"Itu kan namanya black movie, black campaign (kampanye hitam), ya kalo itu kan enggak perlu dikomentarin. Ya artinya kan namanya juga black movie (dikeluarkan) pas minggu tenang akhir-akhir ini," ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin. 12 Februari 2024.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian itu menilai tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan baik. Pemungutan suara akan dilakukan pada Rabu, 14 Februari 2024. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, Airlangga mengeklaim pemilu di Indonesia berjalan sesuai mekanisme sehingga tidak perlu diganggu oleh isu dugaan kecurangan.

"Saya rasa sih pemilu kan sudah berjalan dengan aman, tertib, dan berjalan dengan lancar jadi tidak perlu dibuat apa namanya dibuat keruh," ucap dia.
 

Baca juga: TKN: Film Dokumenter Dirty Vote Tak Bisa Tampilkan Data Ilmiah

Airlangga enggan beranda-andai soal dampak film tersebut terhadap pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ia mengatakan pilihan rakyat bakal diketahui 14 Februari mendatang.

"Ya yang penting tanggal 14 Februari masyarakat perlu nyoblos," ujarnya.

Film Dirty Vote ramai menjadi perbincangan dan viral di media sosial. Film dokumenter itu ditayangkan perdana melalui kanal rumah produksi WatchDoc di kanal YouTube. 

Film ini sebagai edukasi masyarakat jelang pemilihan presiden. Dirty Vote menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan di platform X di hari pertama penayangannya, Senin, 11 Februari 2024. 

Dirty Vote mengungkap berbagai instrumen kekuasaan yang digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi. Tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari menganalisis dengan gamblang penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat untuk mencurangi pemilu demi mempertahankan status quo. Dandhy Dwi Laksono menjadi sutradara film ini.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)