Akademisi hingga Pegiat Antikorupsi Minta Ketua MA Wujudkan Peradilan yang Bersih

Mahkamah Agung/Ilustrasi Medcom.id

Akademisi hingga Pegiat Antikorupsi Minta Ketua MA Wujudkan Peradilan yang Bersih

Lukman Diah Sari • 28 October 2024 10:44

Jakarta: Ketua Mahkamah Agung (MA) periode 2024-2029, Sunarto, dinilai sebagai hakim bersih dan berintegritas, serta jauh dari intervensi. Terpilihnya Hakim Agung Sunarto diharap menjadi angin segar upaya pemberantasan korupsi.

Para akademisi, pakar hukum, dan pegiat antikorupsi punya harapan terhadap Sunarto untuk menjaga muruah MA sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan. Para pakar ini mengingatkan Sunarto untuk bebas dari intervensi penanganan kasus hukum, salah satunya yakni proses penanganan kasus Peninjauan Kembali (PK) mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming.

"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," tegas pakar hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, dalam keterangan diterima pada Senin, 28 Oktober 2024. 

Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK itu menilai adanya kesesatan hukum dalam putusan hakim. Prof Romli menegaskan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan Maming tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.

Selain itu, pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Todung Mulya Lubis juga mendesak agar Mardani Maming dibebaskan. Aktivis HAM dan antikorupsi itu menyoroti terjadinya peradilan sesat (miscarriage of justice) dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret Mardani Maming. 

"Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de 
auditu)
karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya," kata Todung pda Jumat, 25 Oktober 2024.

Baca: 

Pembenahan MA Disebut Butuh Waktu Lama dan Komitmen Kuat


Todung menilai bahwa tidak ada unsur keadilan dalam penjatuhan vonis terhadap terpidana. Todung menjelaskan bahwa hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan penggunaan analogi sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas.

"Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah. Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana," jelas dia.

Dia berharap Mahkamah Agung (MA) benar-benar mengevaluasi kembali secara teliti vonis yang sudah dijatuhkan kepada terpidana setelah amicus curiae dikirimkan. "Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan," tutur dia.

Senada, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso meminta agar pengusaha Mardani Maming bisa dibebaskan karena adanya kekhilafan hakim.  Akademisi ini menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani Maming.

"Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana," jelas Prof Topo.

Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee.

"Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” ujar Prof Topo.

Selain itu, Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Mahrus Ali, menilai bahwa Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan. Sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.

"Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung," terang Mahrus Ali.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Lukman Diah Sari)