Kartini, Juru masak di Stasiun Penelitian Soraya. Metrotvnews.com/ Fajri Fatmawati
Subulussalam: Subuh masih pekat ketika langkahnya mulai terdengar. Di ketinggian 80 meter atas permukaan laut, dalam sunyinya hutan sekunder Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), seorang perempuan membangunkan dapur kayu Stasiun Penelitian Soraya. Dialah Kartini, 44, sang juru masak, jantung yang membuat denyut kehidupan di tengah belantara Aceh ini terus berdetak.
Sejak 2017, ia rela mengabdikan hari-harinya sebagai juru masak satu-satunya, memastikan kepulan asap dan aroma masakan selalu membumbung untuk memberi energi para peneliti dan penghuni stasiun.
Baca Juga :
Rutinitasnya dimulai jauh sebelum matahari terbit. Pukul 04.00 WIB, ditemani sahutan jangkrik dan tonggeret, tangannya yang cekatan sudah sibuk menyusun kayu bakar dan menyalakan kompor tradisional. Di ruang dapur berukuran 3 kali 3 meter itu, ia dengan lihai meracik rempah, menanak nasi dalam jumlah besar, dan menyiapkan hidangan lezat nan bergizi.
"Kadang kakak bangun jam 2 malam, masak bekal buat adik-adik yang harus masuk hutan subuh-subuh. Biar mereka ada tenaga," kata Kartini saat ditemui
Metrotvnews.com di Stasiun Penelitian Soraya.
Suasana dapur kayu Stasiun Penelitian Soraya. Metrotvnews.com/ Fajri Fatmawati
Perjuangannya tidak berhenti di dapur. Setiap Rabu, ia harus menempuh perjalanan berliku untuk berbelanja. Dimulai dengan menuruni tanjakan terjal setinggi 80 mdpl dengan kemiringan 45 derajat selama 30 menit, lalu dilanjutkan dengan naik speedboat menyusuri Sungai Lae Soraya selama satu setengah jam.
"Kalau menu favorit di sini bebek masak teluh, tapi kadang harus pergi jauh ke Subulussalam untuk cari bebek," ceritanya. Semua itu dilakukannya demi memastikan stok makanan untuk seminggu terpenuhi.
Awalnya Kartini hanya diminta melatih juru masak baru selama seminggu. Namun karena yang bersangkutan tak betah, ia pun ditawari untuk menggantikan. Tawaran itu ia terima, meski sempat ditentang keluarganya yang khawatir dengan lokasinya yang terpencil dan tanpa sinyal.
"Tapi kalau soal orang tua, kita tetap butuh restu. Kalau restu tidak ada, mungkin kita tidak akan betah," kenang Kartini dengan nada haru, berusaha meyakinkan keluarganya bahwa ia sanggup.
Tanpa Jaringan Internet
Hidup di tempat tanpa jaringan internet baginya adalah dua mata pisau. Di satu sisi, ia merasakan ketenangan sejati dimana semua penghuni kamp bisa bercengkrama tanpa gangguan gawai. Di sisi lain, ia kerap kesulitan menghubungi keluarga.
"Paling kalau mendesak, kakak cari sinyal di atas gunung, jaraknya sekitar satu kilometer dari sini," ujarnya.
Meski menjadi satu-satunya perempuan, ia merasa nyaman dan dihargai, menganggap semua rekan kerjanya seperti keluarga. Di balik keteguhannya, ada juga rasa takut yang sesekali menyelinap, terutama ketika ia sendirian di stasiun.
Dapur kayu Stasiun Penelitian Soraya tempat Kartini memasak ada di tengah hutan belantara. Metrotvnews.com/ Fajri Fatmawati
"Kadang kita takut kalau ada orang tidak dikenal datang. Tapi, siapa pun yang datang, kita harus sapa dengan baik karena mereka adalah tamu kita," tuturnya.
Bagi Kartini, keberhasilan para peneliti yang ia dukung adalah kebahagiaan terbesarnya. "Kalau adik-adik ini berhasil, kakak boleh juga ikut senang. Tapi kalau mereka pulang tidak dapat apa-apa, kakak juga ikut sedih," katanya.
Dalam kesederhanaan dan pengabdiannya, Kartini bukan sekadar juru masak. Ia adalah sosok 'Kartini' masa kini yang dengan caranya sendiri, turut menuliskan sejarah konservasi di hutan Leuser, satu piring hangat dalam satu waktu.