Ilustrasi kecelakaan pesawat. (Metrotvnews.com)
Whisnu Mardiansyah • 23 November 2025 10:14
Jakarta: Dunia penerbangan internasional mencatat Sabtu, 23 November 1996 sebagai hari kelam. Pesawat Ethiopian Airlines penerbangan ET-961 berjenis Boeing 767-200ER, jatuh di perairan dangkal dekat Pulau Grande Comore, Komoro, setelah dibajak dan dipaksa terbang melampaui batas kemampuan bahan bakarnya. Dari 175 jiwa di dalamnya, 125 orang meninggal dunia dalam tragedi yang sebenarnya bisa dihindari tersebut.
Pesawat Boeing 767-200ER dengan registrasi ET-AIZ itu lepas landas dari Bandara Internasional Bole, Addis Ababa, pada Sabtu pagi, 23 November. Pesawat mengangkut 163 penumpang dan 12 awak kabin untuk rute multi-segment menuju Nairobi, Brazzaville, Lagos, dan Abidjan.
Di bawah kendali Kapten Leul Abate dan Kopilot Yonas Mekuria, penerbangan berjalan normal ada tanda-tanda pesawat bermasalah. Cuaca cerah dan komunikasi dengan menara pengawas berjalan lancar. Situasi tenang itu berubah drastis sekitar 20 menit setelah pesawat mencapai ketinggian jelajah.
Baca Juga :
Tiga pria berkewarganegaraan Ethiopia memanfaatkan momen ketika pintu kokpit terbuka untuk keperluan prosedural. Mereka menerobos masuk dengan senjata yang dimanipulasi berupa alat pemadam api dan kapak darurat pesawat.
Para pembajak langsung menyerang kru kabin, mengikat Kopilot Yonas Mekuria, dan mengancam Kapten Leul Abate. Mereka mengkelaim memiliki lebih banyak anggota di antara penumpang, meski kenyataannya hanya bertiga. Tuntutan mereka terdengar sederhana namun mustahil, menerbangkan pesawat ke Australia untuk meminta suaka politik.
Kapten Abate, seorang pilot dengan jam terbang tinggi berusaha menjelaskan realitas teknis. “Saya berulang kali mencoba memberi tahu mereka bahwa bahan bakar tidak akan cukup untuk mencapai Australia. Pesawat ini hanya diisi untuk rute Afrika,” ujarnya dalam kesaksian pascainsiden, Kamis, 27 Maret 1997.
Namun, penjelasan logis itu tidak digubris. Pembajak, yang diduga berada di bawah pengaruh alkohol, berkukuh pada tuntutan mereka. Mereka mengancam akan melukai penumpang jika pesawat berbelok arah.
Dibawah todongan senjata, Kapten Abate terpaksa mengarahkan pesawat ke Selatan, melintasi Samudra Hindia. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah penerbangan menuju kematian. Ia diam-diam berusaha mencari titik pendaratan darurat, sambil terus memperingatkan pembajak tentang indikator bahan bakar yang kian kritis.
Selama perjalanan memilukan ini, para pembajak membatasi komunikasi kru dengan penumpang, menambah suasana panik dan ketidakpastian di kabin. Sekitar tiga jam setelah pembajakan, situasi kritis tak terelakkan. Mesin kanan mati terlebih dahulu karena kehabisan bahan bakar. Beberapa menit kemudian, mesin kiri menyusul. Boeing 767 yang canggih itu meluncur di udara tanpa tenaga.
“Ketika mesin terakhir mati, saya tahu kami hanya punya satu kesempatan. Saya melihat Pulau Grande Comore di kejauhan dan memutuskan untuk melakukan ditching,” kenang Kapten Abate.
Dengan keterampilan tinggi, Kapten Abate mengarahkan pesawat yang tak bertenaga itu ke perairan dangkal di lepas pantai Grande Comore. Rekaman video amatir dari pantai menunjukkan pesawat miring dan kemudian menghantam permukaan air dengan keras. Dampaknya menyebabkan badan pesawat terbelah dua. Air laut segera membanjiri kabin yang berisi penumpang yang sudah panik.
Kekacauan terjadi. Beberapa laporan dari penyintas menyebutkan para pembajak justru membuka pintu darurat sebelum pesawat benar-benar berhenti, mempercepat masuknya air dan menenggelamkan bagian pesawat lebih cepat.
Warga setempat dan nelayan di sekitar Pantai Grande Comore menjadi pahlawan pertama. Dengan menggunakan perahu tradisional, mereka bergegas menuju reruntuhan pesawat untuk menolong korban yang berjuang di air.
Operasi penyelamatan besar-besaran kemudian diluncurkan oleh otoritas Komoro dengan dukungan internasional. Para penyintas, banyak yang mengalami luka-luka, hipotermia, dan trauma berat, segera dilarikan ke fasilitas kesehatan di Moroni, ibu kota Komoro. Dari 175 penumpang dan awak, hanya 50 orang yang berhasil selamat dari musibah mengerikan ini. Sebanyak 125 nyawa melayang, termasuk ketiga pembajak.
Tragedi Ethiopian Airlines ET-961 meninggalkan warisan mendalam bagi industri penerbangan global. Kecelakaan ini menyoroti kerentanan pesawat terhadap ancaman pembajakan, bahkan di era modern. Kisah ini menjadi pengingat nyata tentang pentingnya prosedur keamanan yang ketat, pelatihan awak kabin dalam menghadapi krisis, dan keteguhan seorang pilot di bawah tekanan ekstrem.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.