DPR Didesak Buat UU Kehutanan yang Baru

Ilustrasi. Medcom

DPR Didesak Buat UU Kehutanan yang Baru

M. Iqbal Al Machmudi • 15 July 2025 17:48

Jakarta: Koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan agar DPR mencabut Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mereka juga mendesak DPR membentuk UU Kehutanan baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan.

Menurut Koalisi, saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan, konflik tenurial yang tidak selesai, impunitas perusahaan penghancur hutan, dan perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.

Padahal, hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan. Koalisi memandang secara filosofis, UU Nomor 41 Tahun 1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Secara sosiologis, UU Nomor 41 Tahun 1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural. Sementara itu, secara yuridis, UU Nomor 41 Tahun 1999 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hingga Putusan MK yang mencabut pasal-pasal dalam UU Kehutanan.

Peneliti Yayasan MADANI Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menilai UU Kehutanan yang terbit pada 1999 belum mengakomodasi masalah perubahan iklim, mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement. 

"Maka kami merasa bahwa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” kata Sadam dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Juli 2025.
 

Baca Juga: 

Puluhan Sertifikat Ilegal Ditemukan di Taman Nasional Kerinci Seblat


Dengan ambisi penurunan emisi, menurut Sadam, Indonesia membutuhkan norma yang lebih tegas untuk melarang segala jenis industri ekstraktif yang membuka hutan alam yang tersisa. Sebab, selama ini, pemerintah biasanya akan mengistimewakan proyek strategis nasional (PSN) untuk bisa membuka hutan. 

"Maka, kenapa tidak dibalik, sektor perhutanan mungkin bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” ujar dia.

Perwakilan Women Research Institute (WRI), Sita Aripurnami, mengutip data AMAN, dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga. UU Kehutanan yang sekarang tidak memberi jaminan sosial bagi masyarakat adat, apalagi yang terdampak konflik kepemilikan lahan.

“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)