Ilustrasi. Foto: Medcom
Anggi Tondi Martaon • 11 July 2025 21:35
Jakarta: Fraksi Partai NasDem di DPR RI menegaskan komitmennya untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. Bakal beleid tersebut dinilai sebagai bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan komunitas adat yang telah hidup jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Anggota Fraksi NasDem Muslim Ayub menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat bukan sekadar inisiatif politik. Menurut dia, bakal beleid tersebut merupakan bentuk keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
“Saya merasa penting menyampaikan bahwa keberadaan RUU ini bukan sekadar inisiatif politik, tetapi wujud komitmen. Sudah terlalu lama masyarakat adat berada di pinggiran pembangunan. Mereka menghadapi diskriminasi kebijakan dan lemah di hadapan hukum” ujar Muslim Ayub, melalui keterangan tertulis, Jumat, 11 Juli 2025.
Dia menyadari penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat tidak akan mudah. Sebab, bakal resistensi, baik secara politik maupun ekonomi.
"Tetapi saya meyakini, kita bisa memperjuangkan RUU ini sebagai tonggak sejarah baru Indonesia. Saya ingin menegaskan RUU ini bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang bagaimana negara ini berdiri di atas pengakuan terhadap komunitas lokal yang telah ada sebelum republik ini lahir,” ungkap dia.
Sementara itu, Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat sekaligus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), Erasmus Cahyadi, menekankan bahwa hak masyarakat adat adalah bagian dari hak asasi manusia. Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan dan sistem penegakan hukum yang efektif.
“Kita melihat banyak konflik puluhan tahun yang perlu kita pulihkan. Pengawasan dibutuhkan agar perlindungan masyarakat adat dapat berjalan efektif. Pelanggaran terhadap mereka harus didekati dengan hukum pidana, perdata, dan administrasi. Selain itu, perlu ada mekanisme insentif dan pengaturan kewenangan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat adat,” jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan bahwa pihaknya menerima banyak pengaduan dari wilayah dalam dua tahun terakhir. Pengaduan diterima dari Sumatra Barat, NTB, NTT, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Lampung.
Dia menyampaikan, isu utamanya adalah konflik agraria, intoleransi terhadap agama lokal, hingga kekerasan oleh aparat negara.
“Kami melihat korelasinya sangat kuat antara pelanggaran yang terjadi terhadap masyarakat hukum adat dan proyek strategis nasional (PSN). Kami juga menilai bahwa perda sering kali tidak melibatkan masyarakat adat secara partisipatif, sehingga perlu dikembangkan mekanisme alternatif dalam proses pengakuannya,” ujar Anis.
Komnas HAM juga menyoroti pentingnya penggunaan diksi Masyarakat Adat dibanding Masyarakat Hukum Adat. Sebab, dinilai lebih inklusif dan sesuai dengan norma hak asasi manusia internasional.
Merespons masukan tersebut, Ketua Panja RUU MHA 2019-2024 Willy Aditya, menegaskan bahwa perbedaan istilah bukan isu utama. Menurut dia, yang lebih penting adalah bagaimana negara memberikan perlindungan yang konkret.
“Yang paling penting adalah kita perjuangkan esensinya. Kita bangun proses ini sebagai dialektika yang tumbuh dan berkembang,” ujar Willy.
Willy menyatakan optimisme bahwa RUU ini dapat disahkan di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Spiritnya adalah kolaborasi. Perbedaan kecil kita selesaikan bersama. Mari kita bangun best practice bersama,” ujar dia.