Ilustrasi. Foto: Dok MI
Jakarta: Pemerintah Indonesia mengklaim telah mencapai 76 persen dari tujuan pembangunan berkelanjutan. Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang selama ini aktif dalam pemantauan pencapaian SDG's di Indonesia, INFID, KAPAL Perempuan, dan Migrant CARE menyatakan bahwa klaim tersebut terlalu berlebihan, gegabah dan tidak sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat.
Pada semester I-2025, INFID melakukan survei People’s Scorecard (PSC) 2025 untuk menilai pandangan masyarakat sipil Indonesia mengenai pencapaian SDGs di Indonesia. Berdasar survei yang dilakukan bersama Action for Sustainable Development (A4SD), hasilnya menunjukkan bahwa klaim pemerintah Indonesia bertentangan dengan pandangan masyarakat sipil Indonesia.
“Pemerintahan Prabowo-Gibran mendapatkan warisan masalah kemiskinan, kesenjangan, dan lingkungan yang cukup parah. Jika Asta Citanya ingin mencapai pemerataan ekonomi dan memberantas kemiskinan, maka perlu kerja ekstra keras dari para Menteri di tiga masalah tersebut. Political will dari Presiden Prabowo juga harus kuat,” kata Deputy Director INFID Bona Tua Parhusip dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 12 Juli 2025.
Survei menunjukkan masalah kemiskinan, kesenjangan, dan lingkungan di Indonesia mendapatkan predikat “Kemajuan Sangat Rendah”. Skor rata-rata capaian SDGs secara nasional hanya mencapai 13,72 persen, masuk ke dalam kategori “Kemajuan Sangat Rendah”. Survei ini merupakan hasil penilaian untuk implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) TPB/SDGs periode 2021-2024.
PSC 2025 melibatkan 46 organisasi masyarakat sipil (OMS) dan merupakan laporan komprehensif yang menyajikan perspektif masyarakat sipil mengenai capaian SDGs Indonesia, tantangan utama, dan rekomendasi strategis untuk mempercepat kemajuan. PSC juga telah dilakukan sebelumnya pada tahun 2024, 2022 dan 2021.
Hasil survei mencerminkan kekhawatiran OMS terhadap kesenjangan dalam implementasi TPB. Sejumlah tujuan (goal) menunjukkan capaian yang relatif lebih baik, seperti goal 5 kesetaraan gender (skor 21,79 persen) dan goal 13 aksi iklim (skor 21,3 persen) dengan kategori “Kemajuan Rendah”.
Sebaliknya, target seperti pengentasan kemiskinan ekstrem (goal 1), tanpa kelaparan (goal 2), dan kota berkelanjutan (goal 11) mencatat skor terendah, dengan beberapa indikator hanya mencapai 3,5 sampai 4,6 persen. Di wilayah terpencil seperti NTT dan Papua dengan persentase kemiskinan tinggi (Papua mencapai 26,8 persen, jauh di atas rata-rata nasional 9,6 persen), isu stunting masih belum terselesaikan dan kualitas layanan kesehatan juga timpang.
(Konferensi pers pemaparan Hasil PSC 2025. Foto: Dok. INFID)
Perlindungan pekerja migran
Migrant CARE juga mengkritisi absennya perspektif perlindungan pekerja migran dan pencegahan perdagangan orang dalam substansi yang terkandung di VNR Indonesia pada Tujuan 8 yang dilaporkan (Hal 70-84) sama sekali tidak memperlihatkan situasi terkini pekerja migran Indonesia dan kasus-kasus perdagangan orang yang jumlahnya meningkat pesat pasca pandemi Covid-19.
Berdasarkan survei yang dilakukan Migrant CARE sepanjang 2022-2024 tentang Potensi Ekonomi Purna Pekerja Migran dan Akses Jaminan Perlindungan Sosial Bagi Pekerja Migran memperlihatkan minimnya dukungan negara pada agenda perlindungan pekerja migran dan penanganan perdagangan orang. Dengan demikian pemerintah masih meninggalkan/memarjinalisasi isu pekerja migran dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
KAPAL Perempuan juga mengkritisi perbedaan tajam antara klaim pemerintah dengan realita. Di antaranya adalah mengenai isu perkawinan anak dan kerja keperawatan. Sebagai OMS yang melakukan pendampingan, KAPAL Perempuan memotret masih ada daerah yang tidak mengetahui adanya strategi nasional pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini mencerminkan rendahnya pengetahuan baik dari Pemda maupun OMS lokal mengenai kebijakan perlindungan anak di wilayahnya. Hal serupa juga terjadi pada isu kerja keperawatan.
“Kalau di VNR ada 1 indikator yang tidak dibahas secara mendalam adalah mengenai penghargaan terhadap kerja-kerja tak berbayar dan isu ekonomi keperawatan. Meskipun sudah ada peta jalan kebijakannya, tapi belum terlihat implementasinya,” tutur perwakilan dari KAPAL Perempuan Justin Gelatik.
Rapor buruk pencapaian Indonesia menunjukkan pentingnya Pemerintah RI untuk mempercepat pembenahan pada aspek yang memiliki multiplier effect, seperti kesehatan, pendidikan, dan kolaborasi antarpihak.
“Kebijakan-kebijakan Pemerintahan Prabowo cenderung populis dan seringkali mengabaikan dampak ganda. Seperti ambisi program MBG dengan anggaran jumbo yang minim kalkulasi matang, mengorbankan anggaran pendidikan dan sektor lainnya. Hal ini justru semakin memundurkan capaian TPB Indonesia,” tutur Bona.
PSC 2025 mengusulkan rekomendasi strategis untuk mempercepat capaian TPB Indonesia:
- Pembentukan komite multipihak untuk memastikan keterlibatan substantif OMS dalam perumusan dan pemantauan kebijakan;
- Reformasi alokasi anggaran guna memprioritaskan program berbasis komunitas, terutama di daerah;
- Penguatan komunikasi kebijakan untuk menyelaraskan persepsi pemerintah dan OMS;
- Pengembangan kebijakan yang memprioritaskan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan demi menegakkan prinsip “no one left behind”;
- Pemanfaatan pendekatan berbasis komunitas, seperti melibatkan tokoh adat, untuk implementasi SDGs yang efisien dan efektif;
- Serta memprioritaskan pada Tujuan dengan multiplier effect seperti kesehatan, pendidikan, dan kolaborasi multipihak untuk mempercepat kemajuan SDGs secara keseluruhan di Indonesia.