Gubernur BI Perry Warjiyo. Foto: dok Bank Indonesia.
Fetry Wuryasti • 30 January 2024 21:23
Jakarta: Nilai tukar rupiah sejak awal tahun melemah pada kisaran Rp15.700 hingga Rp15.800 per USD. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo tidak menampik hal tersebut, dan mengatakan tekanan lebih disebabkan faktor eksternal karena secara fundamental mendukung penguatan rupiah.
Perry menjelaskan perkembangan harga apapun, baik inflasi maupun nilai tukar, selalu dipengaruhi oleh dua faktor utama. Faktor tersebut adalah supply dan demand, serta kabar ekonomi global yang memberi sentimen.
Nilai tukar, kata Perry, secara fundamental semestinya menguat. Sebab dari fundamental, neraca perdagangan Indonesia terus menerus mencatatkan surplus.
"Surplus neraca perdagangan berarti lebih banyak valasnya dari ekspor. Lalu, pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi rendah dan imbal hasil SBN, dan juga indeks saham baik. Jadi ini faktor-faktor fundamental yang semestinya rupiah menguat," kata Perry, usai paparan hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Jakarta, Selasa, 30 Januari 2024.
Tetapi, dalam jangka pendek, memang ada faktor kabar dari global dalam dua minggu terakhir yang menekan nilai tukar, tidak hanya rupiah tetapi mata uang seluruh dunia.
Pasar kemarin memperkirakan tingkat suku bunga AS Fed Fund Rate (FFR) akan turun pada kuartal I dan II. Tetapi kemudian data-data terakhir rapat dewan gubernur Bank Sentral AS The Fed (FOMC meeting) memutuskan tidak buru-buru menurunkan FFR, karena ekonomi AS masih tumbuh bagus dan inflasi inti AS juga belum turun di bawah sasaran.
"Jadi pasar yang tempo hari memprediksi Fed Rate segera turun, rupanya data-data dan juga pernyataan FOMC meeting kemungkinan belum akan turun semester I-2024. Kami monitor dalam minggu ini nanti statement seperti apa," kata Perry.
Faktor berita ini yang kemudian membawa indeks dolar AS yang sebelumnya sudah melemah ke 102, kembali naik 102 di atas 103. "Sehingga seluruh mata uang di dunia melemah tidak terkecuali rupiah," beber Perry.
Selain itu, eskalasi tensi geopolitik di Timur Tengah dan juga di Laut Tiongkok juga menyebabkan gangguan pasokan. Demikian juga kebijakan regulator Tiongkok, supaya pasar saham mereka tidak merosot, maka menghentikan peminjaman saham tertentu, tidak boleh lagi soft-selling. Berita-berita itu yang membuat tekanan seluruh mata uang dunia meningkat, termasuk rupiah.
Baca juga: Rupiah Menguat Lagi, Hari Ini Ditutup di Level Rp15.780/USD