Tak Viral maka tak Tegak

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.

Tak Viral maka tak Tegak

Media Indonesia • 19 December 2024 05:57

DULU, ketika awal-awal media sosial baru saja booming, mungkin sebagian besar tujuan orang bermedia sosial ialah untuk menampangkan siapa dirinya, aktivitas apa yang sedang dilakukan, atau dengan siapa saja ia bergaul. Namun, di era sekarang, media sosial kiranya tidak lagi sekadar menjadi platform untuk menampilkan eksistensi seseorang.

Laiknya habitat tempat ia hidup, yaitu dunia digital yang terus berkembang, fungsi media sosial pun ikut bertransformasi. Kini, ia tak sebatas menjadi platform untuk pamer diri walaupun praktik ini sampai kapan pun tampaknya bakal terus ada. Belakangan media sosial juga telah berkembang menjadi semacam watchdog, anjing penjaga.

Beberapa platform media sosial saat ini bahkan sangat efektif sebagai sarana untuk menyampaikan sinisme dan kritik, mulai kritik sosial hingga kritik terhadap penguasa alias pemerintah. Mulai sinisme remeh, yang sayangnya kadang masih dibumbui ujaran kebencian, sampai kritik yang betul-betul serius yang disertai dengan data-data penunjang.

Harus diakui, sebagai watchdog, semakin kemari media sosial semakin dipandang. Kian ditakuti. Gonggongannya mungkin sudah hampir sama kerasnya dengan gonggongan pers ketika mengkritik sebuah kebijakan. Dalam beberapa hal tertentu, posting kritik di media sosial bahkan lebih didengar dan lebih cepat direspons.
 

Baca juga: 

Ibu Lady Aurelia Minta Maaf ke Dokter Koas Luthfi dan Keluarga


Perhatikan saja, begitu objek sasaran kritik sudah viral di platform media sosial, siap-siap saja si pelaku atau pemangku kepentingan atas objek kritik itu 'dirujak' netizen alias warganet. 'Dirujak' ialah istilah yang kerap digunakan para komentator di dunia maya untuk menggantikan kata di-bully. Setelah habis-habisan dirujak di dunia maya, mereka 'dihabisi' lagi di dunia nyata.

Miftah Maulana Habiburrahman sudah merasakan dahsyatnya jari netizen Indonesia. Perilaku Miftah yang buruk terhadap beberapa orang dalam sejumlah kegiatan yang dihadirinya, termasuk kepada penjual es teh dan pelawak senior Yati Pesek, diungkap dan dikuliti habis warganet. Alhasil, Miftah pun mundur dari jabatan menterengnya di pemerintahan sebagai utusan khusus presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan.

Khusus di ranah penegakan hukum, belakangan muncul pula istilah no viral no justice. Kira-kira artinya hukum baru ditegakkan setelah kasusnya diangkat, diviralkan, dan dikritik ramai-ramai di media sosial. Kalau tidak viral, ya, wasalam. Tak viral maka (hukum) tak tegak.

Memang, cerita soal penegak hukum di negeri ini kerap cuek dan tak memberi atensi terhadap suatu kasus bukanlah cerita baru. Entah karena malas entah lantaran sebab lain yang mungkin saja berkaitan dengan suap atau sogokan, polisi kerap dengan entengnya mengabaikan suatu kasus kekerasan maupun kejahatan, bahkan ketika si korban sudah melaporkan secara resmi.
 
Baca juga: Fenomena No Viral No Justice Tak Baik untuk Penegakan Hukum

Ketika akhirnya ada netizen yang mengunggah bukti foto ataupun video kasus tersebut ke media sosial dan kemudian menjadi trending dan perbincangan panas di dunia maya, barulah mereka (terpaksa) bertindak. Karena itu, jangan heran kalau netizen kini mendapat julukan baru, yakni polisi virtual atau penegak hukum virtual.

Di saat polisi beneran melempem, polisi-polisi virtual itulah yang terus bekerja. Menguak kasus, memelototi kezaliman, memviralkan ketidakadilan. Secara tidak langsung, kehadiran mereka menjadi sindiran terhadap ketidaksigapan yang kerap dipertontonkan penegak hukum. Mudah-mudahan mereka tersindir.

Contoh soal ini seabrek, tapi kita ambil saja yang masih baru dan hangat, yaitu kasus penganiayaan terhadap Dwi Ayu Darmawati (DAD), karyawati sebuah toko roti di Cakung, Jakarta Timur, oleh George Sugama Halim (GSH) yang merupakan anak pemilik toko.

Kasus itu sebetulnya terjadi pada 17 Oktober 2024. Si korban pun telah melaporkannya ke polisi sehari setelahnya, yaitu pada 18 Oktober. Ada dua polsek yang ia datangi, yaitu Polsek Rawamangun dan Polsek Cakung. Namun, di dua kantor yang semestinya menjadi pengayom masyarakat itu, laporan Dwi ditolak.
 
Baca juga: 

Viral Penganiayaan Dokter Koas, Warganet Telusuri Harta Dedy Mandarsyah


Hampir dua bulan kemudian, kasus itu mencuat setelah video penganiayaan itu banyak diunggah di platform X. Publik dunia maya pun marah apalagi setelah mereka tahu bahwa korban sebetulnya sudah melaporkan kasus tersebut, tapi tak direken polisi. Setelah dikritik habis-habisan di jagat maya, polisi yang tak mau menjadi bulan-bulanan warganet pun akhirnya bergerak. George ditangkap pada Senin (16/12).

Kocak sekaligus getir. Seperti itulah mungkin yang dirasakan publik, setidaknya saya, saat mencerna fenomena no viral no justice itu. Masak, sih, mesti viral dulu baru aparat bertindak? Masak harus menunggu dirujak dan dihujani kritik warganet dulu baru hukum ditegakkan? Menegakkan hukum itu tugas Anda, lo, bukan tugas kami.

Kalau para pejabat dan aparat maunya masih bekerja dengan gaya begitu, apa perlu nanti mereka bertukar tempat saja dengan warganet?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)