Deolipa Yumara dan Arif Saifuddin. Foto: Metro TV/Siti Yona
Siti Yona Hukmana • 10 December 2025 18:42
Jakarta: Bareskrim Polri didorong berkomitmen menuntaskan perkara mangkrak. Penuntasan setiap perkara menentukan nasib pihak-pihak terkait.
Salah satu perkara yang didorong segera dituntaskan, yakni terkait dugaan penyerobotan lahan. Korban Arif Saifuddin, 56 datang ke Bareskrim Polri, Jakarta dari Surabaya, Jawa Timur menagih Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menyelesaikan kasus pemalsuan surat dan penyerobotan lahan yang mangkrak sejak 29 November 2022.
Kasus ini dilaporkan ke Bareskrim Polri pada Agustus 2019 dan telah menetapkan dua tersangka. Adapun, lahan yang diserobot dua tersangka berada di Jalan Bulujaya V No. 19, Kel. Lontar, Kec. Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur. Dengan luas 16.190 meter persegi.
"Jadi, tanah ini tadinya tanah kosong milik beliau kemudian sudah dibangun vihara, dibangun sekolah gitu kan. Akhirnya beliau kemudian melaporkan ke Bareskrim sini, diproses dan para telapor ini sudah jadi tersangka ya sejak tanggal 29 November 2022," kata kuasa hukum korban, Deolipa Yumara di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 10 Desember 2025.
Namun, setelah menetapkan tersangka, kasus tidak kunjung dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diadili. Adapun, kedua tersangka merupakan pengusaha di Surabaya dengan inisial OT dan W.
"Beliau ini ingin supaya perkara ini cepat dinaikkan dalam persidangan kan, mengingat untuk kepentingan keadilan dan kepastian hukum," ujar Deolipa.
Sementara itu, Arif Saifuddin mengakui bahwa tanah seluas 16.190 meter persegi itu milik keluarga dengan enam bersaudara dan ibu kandung yang masih hidup. Tanah tersebut mulai berperkara pada 2012.
Arif mengatakan ia yang memperjuangkan tanah keluarganya malah dilaporkan ke Polrestabes Surabaya pada 2012. Dengan tuduhan penyerobotan, masuk ke perkarangan orang, pencurian, dan lain sebagainya.
"Setelah dalam persidangan, saya dibebaskan. Mulai dari tingkat PN sampai kasasi MA," terang Arif.
Keluarga Arif atas nama Syarief Hidayat menambahkan bahwa dua tersangka atas nama Ongko Tikdoyo dan Widyantoro pernah dipanggil sebagai tersangka, tapi tidak hadir dengan alasan sakit. Bahkan, kedua tersangka pernah meminta perlindungan hukum kepada Kabareskrim Polri yang dulu dijabat oleh Agus Andrianto.
Tak hanya itu, Dittipidum Bareskrim Polri disebut juga melakukan gelar perkara khusus beberapa kali, salah satunya pada 5 Januari 2023. Karo Wassidik kala itu menyimpulkan kasus ini bisa dihentikan.
Namun, Kasubdit IV Dittipidum Bareskrim Polri yang kala itu Boy Rando Simanjuntak, saat ini Karo Wassidik Polri berpangkat Brigjen, yang mentersangkakan dua pelaku berkeyakinan bahwa kasus ini tidak bisa dihentikan. Sebab, sudah mengantongi banyak bukti dan meminta kasus didalami.
Akhirnya disepakati untuk pendalaman kasus. Dilakukanlah pendalaman oleh penyidik Dittipidum pada 5 Januari 2023-17 Oktober 2024. Pendalaman terhenti saat Boy Rando Simanjuntak dimutasi. Dittipidum Bareskrim Polri kembali menggelar perkara internal dan menyatakan bahwa kasus harus dihentikan.
Namun, Dittipidum tidak berani menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Korban pun berkonsultasi dengan Kabareskrim Polri yang kala itu dijabat oleh Wahyu Widada. Komjen Wahyu memerintahkan penyidik Dittipidum mendalami lagi dan tidak boleh dihentikan.
Polri. Foto: Ilustrasi Medcom.id
Kemudian, terjadi lagi gelar perkara khusus yang terakhir dihadapi korban pada 19 Maret 2025. Namun, kesimpulan tetap sama yaitu harus dihentikan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, Dittipidum Bareskrim Polri disebut hari ini kembali menggelar perkara khusus tanpa melibatkan Biro Wassidik untuk menghentikan kasus.
"Nah kami berharap mudah-mudahan hasil gelar internal yang mereka lakukan saat ini di Direktorat Tindak Pidana Umum itu tidak berujung pada SP3. Karena bukti cukup banyak," ungkap Syarief.
Salah satu buktinya yaitu korban Arif Saifuddin membayar pajak bumi bangunan (PBB) sejak 2000 sampai 2015. Sementara dua tersangka tidak pernah membayar PBB. Maka itu, seharusnya tidak bisa menerbitkan 12 sertifikat di atas tanah korban. Korban menduga ada keterlibatan oknum lurah dalam penertiban sertifikasi tersebut.
Laporan korban teregister di Bareskrim Polri dengan nomor: LP/B/0681/VIII/2019/Bareskrim tanggal 1 Agustus 2019. Dengan persangkaan kepada terlapor yang telah menjadi tersangka, yakni Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat dan Pasal 385 KUHP tentang Penggelapan Hak atas Tanah.