Donald Trump Dinilai Bakal Kesulitan Mematahkan Aliansi Rusia-Tiongkok

Ilustrasi Tiongkok dan Rusia di pihak yang sama melawan AS. (Bennett Insititute for Public Policy Cambridge)

Donald Trump Dinilai Bakal Kesulitan Mematahkan Aliansi Rusia-Tiongkok

Riza Aslam Khaeron • 4 March 2025 16:22

Jakarta: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menghadapi tantangan besar dalam kebijakan luar negerinya, terutama terkait hubungan Rusia dan Tiongkok. Meskipun Trump berupaya membangun kembali hubungan dengan Moskow melalui pembicaraan damai terkait perang Ukraina, analis menilai langkah tersebut tidak akan cukup untuk memutuskan aliansi strategis antara Rusia dan Tiongkok.

Baru-baru ini, Trump telah menghentikan seluruh bantuan militer AS ke Ukraina setelah konfrontasi dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.

Keputusan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari Partai Demokrat di Kongres AS yang menilai bahwa tindakan Trump "membuka pintu bagi agresi Putin" dan membuat Ukraina semakin terisolasi.

"Dengan menghentikan bantuan militer ke Ukraina, Presiden Trump telah memberikan keuntungan bagi Rusia di medan perang," kata Senator Jeanne Shaheen, anggota senior Komite Hubungan Luar Negeri Senat.

Langkah Trump ini juga menuai respons dari negara-negara Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, yang berusaha merancang proposal perdamaian alternatif. Namun, tanpa dukungan penuh dari Washington, posisi Ukraina dalam perundingan dengan Rusia menjadi semakin lemah.

Namun, meskipun AS diduga berusaha menarik Rusia dari orbit Tiongkok dengan meninggalkan Ukraina, analis menilai bahwa hubungan kedua negara terlalu dalam untuk dipisahkan dengan mudah.

Melansir South China Morning Post (SCMP) pada Selasa, 4 Maret 2025, Emil Avdaliani, professor Hubungan Internasional di Universitas Eropa di Tbilisi, Georgia menulis bahwa meskipun Washington dan Moskow semakin mendekati kesepakatan damai, ini tidak serta-merta berarti bahwa Rusia akan meninggalkan hubungannya dengan Tiongkok.

"Kesepakatan damai dengan AS dapat mempererat hubungan Moskow dan Washington, tetapi hal ini bisa menjadi kerugian bagi Beijing," tulis Avdaliani.

Avdaliani menunjukkan bahwa strategi AS dalam membangun kembali hubungan dengan Rusia bertujuan untuk memberikan tekanan terhadap Tiongkok. Jika Rusia mulai mengurangi hubungan militernya dengan Beijing,  hal itu dapat mengurangi ancaman bagi AS di kawasan Indo-Pasifik.
 

Baca Juga:
Tinggalkan Ukraina, AS Dinilai Mencoba Beraliansi dengan Rusia Melawan Tiongkok

Namun, Avdaliani menegaskan bahwa hubungan Rusia dan Tiongkok lebih dari sekadar kepentingan jangka pendek. "Kerja sama kedua negara telah berkembang dalam berbagai sektor, termasuk teknologi dan pengembangan sistem pertahanan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Rusia-Tiongkok lebih dalam dari sekadar reaksi terhadap situasi geopolitik saat ini."

Menurut Avdaliani, perang di Ukraina telah mendorong Rusia dan Tiongkok semakin dekat dalam kerja sama ekonomi dan militer. Oleh karena itu, meskipun ada insentif dari AS, Rusia tidak memiliki alasan kuat untuk mengorbankan kemitraannya dengan Tiongkok demi hubungan yang belum tentu menguntungkan dengan Washington.

"Rusia telah mengalihkan fokus geopolitiknya ke Asia setelah invasi ke Ukraina, dan sulit bagi Trump untuk membalikkan arah ini," tambahnya.

Avdaliani juga menekankan bahwa hubungan Rusia dan Tiongkok tidak hanya bersifat strategis, tetapi juga saling menguntungkan dalam sektor ekonomi dan keamanan. Rusia saat ini sangat bergantung pada Tiongkok untuk ekspor energi, terutama setelah sanksi dari negara-negara Barat membatasi aksesnya ke pasar Eropa.

Sementara itu, Tiongkok memanfaatkan hubungan dengan Rusia untuk mendapatkan sumber daya energi dengan harga lebih murah dan memperkuat kerja sama militer dalam menghadapi tekanan AS di kawasan Indo-Pasifik.

Selain itu, Avdaliani menilai bahwa meskipun Trump menawarkan insentif diplomatik dan ekonomi untuk menarik Rusia dari orbit Tiongkok, Moskow akan tetap waspada terhadap niat AS.

"Washington memiliki sejarah panjang dalam menerapkan kebijakan sanksi dan perubahan strategi terhadap Rusia. Kremlin tidak akan dengan mudah mempercayai tawaran AS tanpa jaminan yang sangat konkret," katanya.

Lebih lanjut, pembicaraan damai antara AS dan Rusia kemungkinan besar tidak akan mencakup tuntutan agar Rusia mengurangi keterlibatannya dengan Tiongkok. Sebaliknya, Washington kemungkinan akan menawarkan insentif ekonomi atau pencabutan sanksi sebagai imbalan atas sikap Rusia yang lebih netral terhadap kebijakan global AS.

Namun, Avdaliani menilai bahwa Rusia akan berhati-hati dalam merespons tawaran semacam ini, mengingat ketergantungan mereka yang semakin besar pada perdagangan dengan Tiongkok.

Dalam konteks yang lebih luas, langkah Trump untuk mengakhiri bantuan militer ke Ukraina dan mencoba menarik Rusia dari aliansi dengan Tiongkok dipandang sebagai strategi berisiko tinggi. Jika Rusia tetap dekat dengan Tiongkok, maka kebijakan Trump hanya akan memperlemah pengaruh AS di Eropa Timur dan Indo-Pasifik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)