Rupiah dan dolar AS. Foto: dok MI.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan pagi ini mengalami pelemahan.
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 12 Agustus 2025, rupiah hingga pukul 09.15 WIB berada di level Rp16.307 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 27,5 poin atau setara 0,17 persen dari Rp16.279,5 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.248 per USD. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.270 per USD hingga Rp16.320 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis harian.
'Gencatan senjata' tarif AS-Tiongkok segera berakhir
Ibrahim mengungkapkan, 'gencatan senjata' tarif AS-Tiongkok, yang telah mengendalikan peningkatan bea masuk, akan berakhir pada 12 Agustus. Meskipun pasar berharap gencatan senjata ini akan diperpanjang, ketidakpastian mengenai hasilnya masih berlanjut.
Lonjakan ekspor Tiongkok minggu lalu, yang dilaporkan sebesar 7,2 persen (yoy) untuk Juli, menunjukkan para eksportir bergegas mengirimkan barang sebelum potensi tarif baru. Selain itu, AS menerapkan tarif timbal balik baru pada 7 Agustus, yang menargetkan barang-barang dari negara-negara dengan bea masuk hingga 50 persen.
Kemudian, harapan untuk kemungkinan berakhirnya sanksi yang membatasi pasokan minyak Rusia ke pasar internasional meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan ia akan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 15 Agustus di Alaska untuk merundingkan akhir perang di Ukraina.
Perundingan ini menyusul meningkatnya tekanan AS terhadap Rusia, yang meningkatkan kemungkinan bahwa sanksi terhadap Moskow juga dapat diperketat jika kesepakatan damai tidak tercapai. Trump menetapkan batas waktu Jumat lalu bagi Rusia, yang menginvasi Ukraina pada Februari 2022, untuk menyetujui perdamaian atau para pembeli minyaknya akan menghadapi sanksi sekunder.
Di saat yang sama, Washington mendesak India untuk mengurangi pembelian minyak Rusia. Tarif impor yang lebih tinggi yang diberlakukan Trump terhadap puluhan negara, yang mulai berlaku pada Kamis, diperkirakan akan membebani aktivitas ekonomi karena memaksa perubahan pada rantai pasokan dan memicu inflasi yang lebih tinggi.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Proyeksi ekonomi Indonesia meningkat
Di sisi lain, Ibrahim memandang proyeksi International Monetary Fund (IMF) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 yang kembali meningkat, menjadi 4,8 persen pada publikasi terbaru Juli 2025, mendorong pergerakan kurs rupiah pada hari ini.
"Sebelumnya, IMF memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen pada 2025. Terdapat kenaikan tipis 0,1 poin persen," papar dia.
Revisi IMF itu juga sejalan dengan kenaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, yang pada 2025 menjadi 3,0 persen, naik 0,2 poin persen, dan pada 2026 mencapai 3,1 persen, naik 0,1 poin persen dibanding proyeksi April 2025.
Menurut IMF, kenaikan itu didorong oleh permintaan yang lebih tinggi dibanding perkiraan sebelumnya, salah satunya akibat antisipasi terhadap tarif yang lebih tinggi, rerata tarif Trump yang turun dibandingkan pengumuman April 2025, perbaikan kondisi finansial, pelemahan dolar AS, hingga ekspansi fiskal di sejumlah yurisdiksi utama.
Sejauh ini, tarif resiprokal untuk Indonesia turun menjadi 19 persen, dimana sebelumnya diumumkan sebesar 32 persen pada April 2025. Penurunan itu merupakan hasil negosiasi antara kedua kepala negara dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, seperti bebas tarif untuk produk ekspor dari AS, Indonesia bakal membeli produk energi AS senilai USD15 miliar dan produk pertanian senilai USD4,5 miliar, ditambah 50 unit pesawat Boeing, mayoritas seri 777.
IMF menilai, ketegangan geopolitik yang saat ini terjadi dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi, mengganggu rantai pasok global, dan membuat harga komoditas naik. Meski begitu, proyeksi pertumbuhan ekonomi global saat ini disinyalir dapat meningkat asalkan terdapat kebijakan yang mampu menciptakan kepercayaan, prediktabilitas, dan keberlanjutan dalam meredam ketegangan dan menjaga stabilitas harga.