Digunakan Ojol, Ini Sejarah dan Alasan Pita Hitam Jadi Simbol Duka

Ilustrasi pita hitam. Foto: Pexels/Tara Winstead

Digunakan Ojol, Ini Sejarah dan Alasan Pita Hitam Jadi Simbol Duka

Riza Aslam Khaeron • 29 August 2025 13:52

Jakarta: Pembunuhan tragis terhadap Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas mobil rantis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Agustus 2025, memicu gelombang duka dan solidaritas di berbagai kota.

Di Yogyakarta, para pengemudi ojol mengikatkan pita hitam di lengan mereka sebagai tanda belasungkawa. Simbol yang sederhana namun kuat itu menjadi wujud perlawanan damai atas ketidakadilan yang menimpa sesama rekan jalanan.

Duka kolektif ini juga digaungkan oleh Gojek—perusahaan tempat Affan bernaung—yang mengubah warna logonya menjadi hitam di platform digitalnya. Pilihan simbol ini bukan sekadar bentuk penghormatan, tetapi juga bagian dari tradisi panjang yang telah dikenal luas di berbagai belahan dunia.


Gojek memasang gambar pita hitam di platformnya sebagai bentuk duka.

Lantas, mengapa pita hitam digunakan sebagai simbol duka? Sejak kapan simbol ini mulai dipakai dalam konteks berkabung dan solidaritas? Berikut ulasannya.
 

Sejarah Warna Hitam Jadi Simbol Duka


Gambar: Ilustrasi penggunaan toga berwarna bangsa Romawi. (arkeotekno.com)

Melansir Britannica, tradisi penggunaan warna hitam sebagai lambang duka sudah berakar sejak zaman Kekaisaran Romawi. Dalam budaya Romawi kuno, mereka yang sedang berkabung akan mengenakan toga pulla, yaitu toga berwarna gelap yang kontras dengan toga candida (putih cerah) milik pejabat atau calon pemimpin.

Warna gelap—biasanya cokelat tua atau hitam keabu-abuan—menjadi penanda visual bahwa seseorang tengah dalam masa berduka, sekaligus menunjukkan kehormatan terhadap yang wafat.


Foto: Ratu Victoria menggunakan gaun hitam untuk menunjukkan rasa duka terhadap kematian suami. (via historyextra.com)

Simbolisme ini semakin menguat di dunia Barat pada abad ke-19, terutama di bawah pengaruh kuat Ratu Victoria dari Inggris. Setelah kematian suaminya, Pangeran Albert, pada tahun 1861, Ratu Victoria mengenakan pakaian hitam nyaris tanpa henti hingga akhir hayatnya pada 1901.

Ia secara tidak langsung menetapkan standar sosial bagi masa berkabung di kalangan bangsawan dan rakyat biasa. Busana hitam menjadi keharusan dalam masa duka, dengan aturan ketat mengenai lama dan gaya berpakaian—mulai dari full mourning (penuh berduka) hingga half mourning (setengah berduka), yang sedikit melonggarkan aturan penggunaan warna.

Dari sinilah warna hitam mulai diwariskan sebagai simbol visual duka, kehilangan, dan kehormatan, bahkan jauh sebelum ia menjelma dalam bentuk pita. Tradisi berpakaian hitam pada masa berduka ini akhirnya menyatu dengan budaya kontemporer ketika simbol pita mulai digunakan dalam berbagai isu sosial.
 
Baca Juga:
Pemakaman Affan Kurniawan Dikawal Ratusan Driver Ojol
 

Awareness Ribbon dan Pita Hitam jadi Simbol Duka


Gambar: Poster film She Wore a Yellow Ribbon tahun 1949. (Istimewa)

Pita sebagai simbol kesadaran (awareness ribbon) mulai populer di era modern, terutama di Amerika Serikat, ketika pita kuning digunakan sebagai tanda harapan kembalinya tentara dari medan perang.

Fenomena ini pertama kali meluas setelah lagu "Tie a Yellow Ribbon Round the Ole Oak Tree" yang dirilis Tony Orlando and Dawn pada 1973 menyentuh publik Amerika. Lagu ini, yang berkisah tentang seorang narapidana yang berharap kekasihnya masih menerima dia pulang, mendorong warga benar-benar mengikat pita kuning di pohon sebagai simbol cinta dan penantian.

Gagasan penggunaan pita warna ini kemudian berkembang menjadi bentuk kampanye sosial yang lebih luas, dikenal sebagai awareness ribbon. Setiap warna mewakili isu yang berbeda: merah untuk AIDS, pink untuk kanker payudara, dan hitam untuk duka dan perlawanan.


Gambar: Foto unggahan pita hitam di kota Barcelona tahun 2017 oleh Lionel Messi. (Instagram/@Leomessi)

Dari tren awareness ribbon tersebut, Pita hitam menjadi salah satu bentuk ekspresi duka paling universal dalam budaya kontemporer. Ia digunakan untuk menunjukkan belasungkawa, solidaritas, atau perlawanan terhadap ketidakadilan.

Penggunaan pita hitam terekam dalam berbagai peristiwa besar: dari tragedi bom Madrid 2004 dan London 7 Juli 2005, hingga pembunuhan Dimebag Darrell, musisi metal yang tewas di atas panggung. Google bahkan pernah menampilkan pita hitam digital pasca Badai Katrina sebagai bentuk simpati.

Pita hitam juga muncul dalam protes politik, seperti saat darurat militer di Pakistan tahun 2007, dan pada insiden penembakan massal di Virginia Tech. Media, selebritas, hingga warga biasa menjadikannya alat visual yang kuat—termasuk di karpet merah seperti dalam peringatan mendiang Heath Ledger pada ajang SAG Awards 2008.

Simbol ini kini menjelma jadi elemen solidaritas yang mudah dikenali lintas bahasa dan budaya—termasuk di Indonesia, di mana para pengemudi ojol menggunakannya untuk menghormati Affan Kurniawan. Pita hitam bukan sekadar kain yang diikat di lengan, tetapi juga bentuk pernyataan kolektif: bahwa nyawa rakyat kecil tidak boleh dianggap sepele.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)