(Opini) Pertemuan Trump–Putin 'Produktif' Namun Tanpa Hasil

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin saat bertemu di Alaska, 15 Agustus 2025. (Anadolu Agency)

(Opini) Pertemuan Trump–Putin 'Produktif' Namun Tanpa Hasil

Harianty • 30 August 2025 15:14

Jakarta: Pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Anchorage, Alaska, pada 15 Agustus lalu memang diberi label “produktif,” tetapi faktanya tidak melahirkan kesepakatan apa pun. Meski berlangsung hampir tiga jam dan disertai pernyataan positif dari kedua belah pihak, hasil konkret tetap nihil.

Trump menyebut pertemuan itu menghasilkan kesepahaman pada banyak hal, hanya menyisakan sedikit isu yang belum selesai. Putin menegaskan dirinya melihat kesungguhan Trump untuk memahami akar konflik, bahkan menyatakan Rusia tulus berharap perang di Ukraina segera berakhir.

Sejak awal 2025, intensitas komunikasi tingkat tinggi antara AS–Rusia memang meningkat. Enam kali Trump–Putin berbicara lewat telepon, utusan khusus AS bolak-balik Moskow, dan bahkan di Maret lalu delegasi kedua negara bertemu di Arab Saudi. Semua ini menjadi landasan strategis menuju pertemuan puncak.

Putin menyuarakan dua hal: perlunya jaminan keamanan bagi Ukraina, dan keinginan mengakhiri krisis. Di sisi lain, ia menekankan bahwa hubungan AS–Rusia sudah terperosok ke titik terendah sejak Perang Dingin, sehingga dibutuhkan transisi dari konfrontasi menuju dialog. Lebih jauh, Rusia juga ingin memanfaatkan momentum ini untuk melonggarkan sanksi ekonomi dan memperluas kerja sama perdagangan, teknologi, antariksa, hingga eksplorasi Arktik.

Bagi Trump, pertemuan ini berfungsi ganda: di dalam negeri sebagai bukti ia menepati janji kampanye—menjadi “pencipta perdamaian”—serta modal politik menjelang pemilu paruh waktu; di luar negeri, sebagai cara menampilkan hasil diplomasi sambil memuluskan strategi “mengurangi beban Eropa” agar fokus ke kawasan Indo-Pasifik menghadapi Tiongkok. Dengan kata lain, Trump ingin cepat-cepat menyerahkan beban masalah Ukraina pada Eropa.

Putin menginginkan “big deal” selama masa jabatan Trump, yakni restrukturisasi arsitektur keamanan Eropa, pembatasan ekspansi NATO, dan pengurangan kehadiran militer Barat di bekas wilayah Soviet. Sementara Trump lebih mendorong tercapainya gencatan senjata, tanpa benar-benar peduli pada akar persoalan Ukraina. Bahkan jika ia mau berkompromi, ia akan berhadapan dengan Kongres AS dan kelompok garis keras di Washington.

Di sinilah letak kebuntuan. Rusia ingin mengaitkan penyelesaian Ukraina dengan kepentingan strategis lebih besar, sedangkan Trump ingin segera memamerkan capaian diplomasi meski substansinya tipis. Putin cenderung memaksa Ukraina dan Eropa menerima “fakta baru” setelah ada kesepakatan AS–Rusia, sementara Trump kini justru lebih suka agar Moskow–Kyiv langsung berunding soal wilayah. Tidak heran Trump pun mendengar masukan dari para pemimpin Eropa sebelum bertemu Putin.

Perkembangan selanjutnya dalam masalah ini akan sangat bergantung pada dinamika empat pihak: AS, Rusia, Ukraina, dan Eropa. Eropa serta Ukraina akan terus berusaha memengaruhi Trump, sementara Putin kemungkinan tetap menampilkan sikap fleksibel untuk menjaga pintu dialog tetap terbuka.

Pada dasarnya, Trump butuh menunjukkan kepada publik bahwa ia bisa berdialog dengan Rusia tanpa terkesan “lemah” terhadap Moskow. Sementara Putin ingin memperlihatkan Rusia sebagai mitra yang setara dengan AS. Jadi, pertemuan ini lebih ke arah membangun citra politik domestik dan internasional.

Secara keseluruhan, pertemuan ini memang menandai kembalinya forum tingkat tertinggi AS–Rusia, yang berpotensi membuka jalan bagi pencairan hubungan. Namun, tanpa terobosan pada isu inti, yakni krisis Ukraina, proses rekonsiliasi akan sulit bergerak. Jika benar kelak digelar pertemuan tiga pihak AS–Rusia–Ukraina, barulah mungkin kita akan melihat hasil yang lebih jelas. 

Meski disebut “produktif,” faktanya tidak ada kesepakatan konkret yang dicapai. Ini menunjukkan bahwa pertemuan lebih menjadi ajang komunikasi politik dan simbol diplomasi daripada wadah penyelesaian isu-isu besar. Selama isu-isu keras seperti jaminan keamanan, teritori, dan arsitektur keamanan Eropa belum disentuh serius, “produktif” akan tetap hanya menjadi kata manis tanpa isi. 

Meski tanpa hasil konkret, pertemuan ini bisa membuka peluang untuk perundingan lanjutan. Dalam diplomasi, sering kali langkah awal terpenting adalah menjaga komunikasi tetap terbuka agar tensi tidak semakin tinggi.

Baca juga:  Berbicara di PBB, AS Ragukan Keseriusan Rusia Akhiri Perang di Ukraina

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Willy Haryono)