Pekerja migran ilegal karena tertipu dari media sosial. Dokumentasi/ Istimewa
Ahmad Mustaqim • 18 July 2025 16:59
Yogyakarta: Sesosok perempuan, sebut saja Puspa, menjadi saksi bagaimana kerasnya hidup sebagai pekerja migran ilegal. Mimik wajahnya tenang saat bertutur mengisahkan dirinya merasakan nyawanya ada di ujung tombak, di tengah lautan manusia yang tidak ia kenal, dan di negara yang jauh dari kampung halaman.
Puspa menjadi korban penipuan kerja melalui media sosial. Tanpa sepengetahuannya, ia yang dijanjikan bekerja di Thailand tiba-tiba dijebloskan ke Kamboja, sebuah negara kecil yang sempat ia dengar banyak memberikan pengalaman buruk bagi pekerja migran. Puspa mengisahkan perjalanan pahit hidupnya berawal dari perkenalannya dengan seorang penyalur di media sosial.
"Saya cari pekerjaan di media sosial facebook. Saya memposting saya bisa kerja, apa pengalaman saya. Lalu ada seorang wanita yang inbox ke facebook saya. Dia menawarkan pekerjaan awalnya di Macau. Lalu saya tukeran nomor WhatsApp. Kami hubungannya lewat WhatsApp, telepon-teleponan, WhatsApp-an, dan sempat video call juga. Kami intens satu bulan penuh kita berhubungan," kata Puspa pada Jumat, 18 Juli 2025.
Baca: Markas Judol di Bogor, Bekasi, dan Tangerang Digerebek
|
Kenalan Puspa tersebut mengaku memiliki restoran di Thailand dan menawarkan posisi staf dapur dengan gaji sekitar 900 dolar. Dokumen dan work permit akan diurus di negara tersebut.
"Pengalaman saya, kalau di Singapura bisa dengan proses calling visa seperti itu. Jadi dokumen akan diurus di negara setelah kita datang, seperti Singapura," katanya.
Akan tetapi, tiket yang Puspa dapatkan bukan ke Thailand. Ia lantas menanyakan kenapa dibelikan tiket ke Ho Chi Minh dan tidak ke Thailand langsung. Kenalan Puspa tersebut meminta dirinya memberi kepercayaan.
"Dari Ho Chi Minh, saya dijemput seorang pria menggunakan motor untuk menuju ke Kamboja. Tapi itu saya belum tahu kalau mau dibawa ke Kamboja," kata dia.
Setelah melewati portal imigrasi Kamboja, ia sadar tak lagi bisa menghubungi kenalan sosok perempuan tersebut. Dari sanalah transaksi dimulai. Puspa dibawa ke pasar oleh orang yang berbeda. Ia melihat seorang pria China memberikan uang kepada orang yang membawanya.
Setelahnya Puspa dibawa ke sebuah gedung apartemen dan dimasukkan ke sebuah ruangan berisi sekitar 45 pria yang bekerja menggunakan komputer. Puspa mengaku merasa kebingungan dan bertanya pada salah satu orang di sana.
"Ini sebenarnya kita kerja apa? Dia bilang, 'Kita bekerja sebagai scammer atau penipuan online," ujar Puspa menirukan isi percakapan saat itu.
Puspa merasa sangat asing dengan dunia tersebut. Ia hanya jebolan SMP dan tidak akrab dengan komputer. Di sinilah perjalanan getirnya dimulai. Untuk mempertahankan hidup, tak ada pilihan lain selain menjadi scammer.
Menurut Puspa, scammer adalah pelaku penipuan online yang dilakukan di luar Indonesia. Pemiliknya orang Tiongkok, berkantor di Kamboja, mempekerjakan orang Indonesia, dan menargetkan korban orang Indonesia.
"Kamu tipulah banyak-banyak orang Indonesia. Kamu tidak akan bisa dipenjara. Dan jika kamu tidak bisa menipu, kamu akan merasakan denda atau hukuman. Begitu yang mereka katakan," lanjut Puspa mengisahkan.
Puspa bekerja dalam sistem tim yang terdiri atas CS, resepsionis, dan mentor. Leader akan membagi tautan ke resepsionis dan CS. CS akan mengolah, menawarkan iklan dan segala hal, serta memberikan komisi awal sebesar Rp18 ribu atau Rp22 ribu.
Para korban diarahkan untuk mengunduh aplikasi dari Google (bukan Play Store), lalu diminta top up secara bertahap, di antaranya Rp110 ribu, Rp160–180 ribu, dan seterusnya. Korban dijanjikan bisa menarik dana dengan bimbingan dari admin yang tampak profesional.
Korban kemudian masuk ke grup berisi satu korban asli dan empat akun palsu (aktor) yang menggunakan foto polisi, tentara, wanita atau pria menarik. Grup tersebut dikendalikan mentor untuk membangun kepercayaan.
Korban diminta melakukan top up lanjutan sebesar Rp380 ribu hingga jutaan rupiah (1,6–7 juta). Pada tahap akhir, korban diminta top up Rp15–18 juta dan tetap dikenai pajak tambahan Rp7–8 juta.
Ketika korban hendak menarik dana, hanya Rp1 juta yang bisa dicairkan. Jika mencoba menarik Rp10 juta, akan muncul alasan 'kesalahan VIP' dan korban diminta membayar tambahan Rp16–18 juta. Jika saldo korban besar, misalnya Rp50 juta, maka akan diminta membayar hingga Rp100 juta untuk memperbaiki sistem VIP.
"Agar tidak tertipu, kalau di-add di grup, lebih baik chat ke personal yang ada di dalam grup itu ajak spam, biar grupnya hilang. Terus jangan tergiur dengan uang instan, kayak pendapatan instan, itu nggak ada. Kita harus susah dulu baru dapat hasil. Kalau dapat link-link mencurigakan, jangan dibuka, lebih baik tinggalkan, blokir aja," kata dia.
Menurut dia, penipuan tersebut biasanya dijalankan lewat media sosial Telegram dengan metode sangat halus. Nomor yang digunakan pun nomor Indonesia, sehingga sulit dikenali.
Dalam sebulan, Puspa ditargetkan menipu hingga Rp300 juta. Jika hanya mendapat separuh, ia hanya menerima 50% gaji. Jika hanya Rp100 juta, ia tidak digaji. Gaji awalnya memang $800 (sekitar Rp12 juta), namun harus dipotong denda, dan Puspa tidak tahu pasti berapa yang diterima. Puspa juga harus menerima hukuman bila tak memenuhi target.
"Risiko yang kita alami, kita bisa disetrum atau dilempar dari lantai tiga dan itu sudah teman saya alami. Kita bisa dipukuli satu kantor. Setiap kita masuk ke ruangan bos, di situ sudah ada setrum, pistol, dan tongkat panjang," ucapnya.
Jam kerja mereka dimulai dari pukul 9 pagi sampai 12 malam. Jika terlambat, didenda $10 (Rp150.000). Ada beragam denda yang dijatuhkan meski hal itu menjadi hal manusiawi.
"Denda yang kita alami itu seperti ke toilet lebih dari 6 kali, didenda $10. Melebihi batas maksimal di toilet 10 menit, didenda $10. Tidur atau memejamkan mata sebentar, didenda $50 atau Rp750.000. Telat kerja juga kena denda. Tidak boleh buka YouTube atau aplikasi lain, komputer hanya untuk kerja," ujarnya.
Kisah pahit yang Puspa alami tak hanya di situ. Ia juga terpaksa memakan hidangan seperti saren (olahan darah), babi, hingga katak. Hal yang jadi ancaman lain yakni mereka yang dianggap tak berguna bakal dijual ke perusahaan lain dan harus membayar denda Rp15 juta.
Singkat cerita, Puspa kini bisa bernapas legal. Ia telah dievakuasi KBRI kendati statusnya ilegal sebagai pekerja migran. Ia juga dibantu Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan diarahkan ke Dinas Sosial DIY untuk pemulihan mental.
Di situ saya mendapatkan bantuan pendampingan psikiater, pengobatan untuk biaya perobatan saya, makan, dan lainnya," ujarnya.