Pemakaian PLTS. Foto: Istimewa.
Jakarta: Perusahaan panel surya mulai menyasar segmen Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) untuk mempopulerkan pengunaan energi bersih.
Hal ini dilakukan karena data Rakuten Insight menunjukkan 63 persen konsumen di Indonesia menilai penting untuk membeli produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Chief of Sales SUN Energy Oky Gunawan menyatakan ketertarikan industri FMCG untuk menggunakan energi terbarukan menunjukkan aksi konkrit dalam mewujudkan proses produksi yang ramah lingkungan.
"Kami terus mendorong pemanfaatan energi surya di berbagai sektor industri agar mampu meningkatkan daya saing perusahaan serta diferensiasi produk," tutur Oky dikutip Sabtu, 29 Juni 2024.
Dia menuturkan Sun Energy berhasil memasarkan produk PLTS kepada produsen mi instan dan makanan ringan seperti Mi Burung Dara, PT Surya Pratista Hutama (Suprama).
PLTS Atap di pabrik Suprama mampu memproduksi energi bersih sebesar 325.517 kWh setiap tahunnya, setara dengan pengurangan emisi sebesar 253 ton karbon dioksida per tahun.
"Kami melakukan beberapa program agar senantiasa dapat terus beradaptasi dengan kondisi pasar serta melakukan inovasi teknologi untuk menunjang keberlanjutan bisnis," tegas Manufacturing Manager PT Suprama Chris Budiarto Sulestio.
Pada 2023, SUN Energy sudah memiliki pelanggan baru dari beberapa industri, yaitu industri manufaktur elektronik, kertas, jasa transportasi, personal care, furnitur, oleokimia, fragrance, hingga pipa.
prospek menjanjikan di Asia Tenggara
AC Ventures melihat prospek regional untuk energi surya sangat menjanjikan. Asia Tenggara memiliki potensi teknis sebesar 17 terawat, lebih dari 20 kali kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2050, namun kapasitas energi terbarukan saat ini hanya mencapai 99 gigawatt.
Di antara ini, energi surya tetap belum dimanfaatkan secara optimal. Hanya Vietnam yang telah membuat kemajuan signifikan dengan porsi energi surya sebesar 20,5 persen dari energi terbarukan. Sementara itu, Indonesia masih jauh tertinggal (kurang dari 1 persen).
“Di Asia Tenggara, energi surya masih berada pada tahap awal. Kuncinya adalah memulai proyek yang tepat dan memastikan bahwa biaya pembiayaan memungkinkan tingkat pengembalian internal yang baik,.” ujar Managing Partner di AC Ventures Helen Wong.