Presiden AS sebut perundingan gencatan senjata Israel dengan Hizbullah akan lebih mudah dibanding Hamas. (EPA Images)
Marcheilla Ariesta • 19 October 2024 13:42
Washington: Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyarankan untuk perdamaian di Timur Tengah. Menurut Biden, merundingkan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah bisa lebih mudah daripada menegosiasikan gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Biden mengatakan bahwa ia membahas cara untuk mengakhiri konflik Timur Tengah setelah terbunuhnya pemimpin Hamas Yahya Sinwar di Gaza dengan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz selama pertemuan mereka di Berlin.
"Menurut saya dan rekan-rekan saya, ada peluang bahwa kita mungkin dapat berurusan dengan Israel dan Iran dengan cara yang mengakhiri konflik untuk sementara waktu," katanya, dilansir dari Euronews, Sabtu, 19 Oktober 2024.
"Dengan kata lain, itu menghentikan bolak-balik. Kami pikir ada kemungkinan untuk mengupayakan gencatan senjata di Lebanon. Dan itu akan lebih sulit di Gaza. Namun, kami sepakat bahwa harus ada hasilnya,” kata Biden.
Biden menolak untuk mengatakan apakah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberinya jaminan dalam panggilan telepon mereka pada Kamis, setelah konfirmasi kematian Sinwar bahwa Israel siap untuk kembali berunding mengenai kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata.
"Kami sedang berdiskusi tentang hal itu," kata Biden.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan sekutu sedang berupaya meredakan ketegangan di kawasan itu dan sepakat bahwa tidak ada "solusi militer saja."
"Jawabannya adalah diplomasi. Dan sekarang kita harus memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Yang dibutuhkan sekarang adalah gencatan senjata di Gaza, pembebasan semua sandera segera dan tanpa syarat, akses segera ke bantuan kemanusiaan, dan kembali ke jalur menuju solusi dua negara sebagai satu-satunya cara untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan jangka panjang," kata Starmer.
Israel dan kelompok militan Hizbullah yang bermarkas di Lebanon telah saling serang hampir setiap hari sejak perang di Gaza pecah pada Oktober, yang menyebabkan ribuan orang mengungsi di kedua sisi perbatasan.
Permusuhan tersebut telah meningkat secara signifikan baru-baru ini dengan kedua belah pihak menyerang target yang lebih dalam di negara masing-masing.
Pada 30 September, Israel meluncurkan apa yang disebutnya operasi darat yang ditargetkan di Lebanon, yang katanya untuk menemukan dan melenyapkan posisi Hizbullah.
Diperkirakan ada sekitar 15.000 tentara Israel di Lebanon.
Pada Jumat, Hizbullah mengatakan, pertempurannya melawan Israel memasuki fase baru, karena wilayah tersebut memperhitungkan pembunuhan Yahya Sinwar.
Hizbullah secara ideologis sejalan dengan kelompok militan Hamas yang bermarkas di Gaza dan mulai menembaki Israel yang katanya sebagai bentuk solidaritas dengan rakyat Palestina.
Perang di Gaza pecah pada tanggal 7 Oktober tahun lalu setelah kelompok militan Hamas melancarkan serangan kilat ke Israel, menewaskan sekitar 1.200 orang dan membawa 250 lainnya kembali ke Jalur Gaza sebagai sandera.
Respons militer Israel hampir seketika dan telah menghancurkan Gaza. PBB mengatakan pada bulan Agustus bahwa sekitar 80?ri semua bangunan di Jalur Gaza telah hancur.
Hal itu memicu bencana kemanusiaan besar-besaran dengan puluhan ribu warga Gaza mengungsi di dalam negeri, sering kali tinggal di kamp-kamp tenda kumuh dengan sedikit atau tanpa akses ke makanan, air bersih, dan fasilitas medis.
Kementerian Kesehatan yang dipimpin Hamas mengatakan lebih dari 42.000 orang telah tewas hanya dalam satu tahun pertempuran, tetapi tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil dalam penghitungannya.
Baca juga: Biden Desak Israel Berusaha Lebih Keras untuk Minimalisasi Korban Sipil