Kemenkes Diminta Setop Pembahasan RPMK 2024 Terkait Produk Tembakau dan Rokok Elektronik

Ilustrasi acara Halaqoh Nasional untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah, yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Hotel Ashley, Jakarta. Dok. Istimewa

Kemenkes Diminta Setop Pembahasan RPMK 2024 Terkait Produk Tembakau dan Rokok Elektronik

Achmad Zulfikar Fazli • 18 September 2024 20:32

Jakarta: Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta menyetop pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Bakal beleid itu dinilai terlalu memasung ruang gerak produk tembakau, rokok elektronik, dan tata niaga pertembakauan di Indonesia.

Hal ini disampaikan perwakilan masyarakat sipil dalam acara Halaqoh Nasional untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah, yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Hotel Ashley, Jakarta, pada Selasa, 17 September 2024. Halaqah diikuti 50 peserta dari berbagai kalangan, termasuk perwakilan pemerintah, asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau, aliansi masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, dan media. 

Direktur P3M Sarmidi Husna menyampaikan Halaqoh ini dilatarbelakangi kekhawatiran berbagai pihak terhadap dampak RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang mengusulkan pemberlakuan ketentuan kemasan polos tanpa merek. RPMK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tersebut. 

Sarmidi mengatakan proses penyerapan dan pengayaan pasal-pasal dalam RPMK 2024 sangat minim pelibatan publik dan stakeholder yang kredibel. Sehingga, tidak partisipatif.

“Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, asosiasi dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kelompok,” tutur Sarmidi, Jakarta, dilansir pada Rabu, 18 September 2024.

Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau dari Kemenkes, Benget Saragih, menjelaskan RPMK 2024 tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok. Tetapi menyasar anak-anak agar tidak merokok.

“Soal kealpaan beberapa kementerian terkait, sebab menilai posisi mereka sudah menolak, sehingga Kemenkes jalan terus,” ujar dia.
 

Baca Juga: 

Pemerintah Resmi Larang Warga Jual Rokok Eceran


Merespons pembelaan Benget, Ketua PBNU Miftah Faqih menegaskan dalam proses perumusan regulasi apa pun, wajib melibatkan masyarakat secara berimbang dan berorientasi pada kemaslahatan bersama (al-maslahah al-ammah), bukan sepihak. Jika tidak, RPMK 2024 batal dan tidak adil. 

Rancangan peraturan tidak bisa sembarangan disahkan tanpa ada musyawarah dengan stakeholder yang terkait. “Pada prinsipnya, peraturan RPMK 2024 harus mampu mengakomodir semua golongan, berkeadilan dan sesuai dengan misi agama dan berwawasan ke depan,” ujar Miftah.  

Sementara itu, perwakilan Kementerian Perindustrian, Nugraha Prasetya Yogi, mengungkapkan dalam proses PP Nomor 28 Tahun 2024 yang sudah disahkan, pihaknya tidak dilibatkan dalam draf akhir. “Apalagi perumusan pasal-pasal dalam RPMK 2024 yang baru ini, kami sama sekali belum terlibat di dalamnya, padahal RPMK ini berpotensi sangat merugikan dunia perdagangan dan industri,” ujar Yogi.  

Yogi mengatakan kebijakan standarisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal ini sangat berpotensi menurunkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.

Menurut dia, meningkatnya peredaran rokok ilegal justru bisa menggerus pasar rokok legal, sehingga dampaknya akan terjadi penurunan penjualan, penurunan produksi dan efisiensi tenaga kerja, bahkan sampai pemutusan tenaga kerja.

“Kondisi ini akan mengancam 537.452 tenaga kerja industri hasil tembakau dan mengancam keberlangsungan petani tembakau dan cengkeh yang mencapai 1,5 juta KK,” tegas dia. 

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Federasi Serikat Pekerja SPSI-RTMM (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia-Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman), Sudarto, menyuarakan penolakan atas RPMK 2024 versi Kemenkes. Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang berdaulat. Pertanian tembakau dan tata niaga rokok sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka. Dari aspek ketenagakerjaan, industri rokok tidak sedikit menyerap tenaga kerja.

Sejak terbitnya UU Kesehatan No. 17 tahun 2003, dilanjutkan PP 28 tahun 2004, regulasi tembakau dipaksakan dengan strategi yang senyap dan sistematis. Khususnya paska FCTC 2003 diadopsi dan diimplementasikan tahun 2005, regulasi nasional ditekan dan sarat kepentingan bisnis. Meskipun demikian, Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir yang diserap di industri hasil tembakau.

“Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan melalui kebijakan cukai, industri ditekan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin mahal, dan tidak aneh jika muncul rokok illegal. Kami mewakili para pekerja, yang memiliki kesetaraan hak di muka hukum dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar,” jelas Sudarto

Perwakilan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan menyampaikan perlunya sinkronisasi PP dengan UU dan Peraturan Pemerintah yang ada. Tembakau merupakan komoditas strategis nasional, dan termasuk produk unggulan lokal, sehingga perlu dilindungi karena melibatkan nasib petani. Selain sinkronisasi, setiap regulasi perlu melindungi hak-hak petani dan partisipasi publik secara lebih bermakna.

“Membuat peraturan tembakau tanpa partisipasi yang bermakna bisa dianggap inkonstitusional,” tagas Gunawan. 
 
Baca Juga: 

Penjualan Rokok Eceran Dinilai Sulit Dikontrol


Anggota DPR, Muhammad Misbakhun, menyebut kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat, hilangnya lapangan kerja, dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) nasional.

“Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan,” ungkap dia.

Misbakhun menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak, khususnya ekonomi, yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT. “Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang,” tutur dia.

Senada dengan Misbakhun, perwakilan Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia, Budiman, menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh. Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek. Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan. 

Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karena dampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau. Menurut dia, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)