Media Indonesia • 25 September 2024 11:17
Jakarta: Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto mendorong langkah preventif dan sanksi yang ketat, terkait korupsi atau fraud di bidang kesehatan. Sanksi tegas tertuang pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018, mengenai sanksi administratif hingga mengakhiri kerja sama dengan.
"Dalam Pasal 93 Ayat (4) Perpres Nomor 82 Tahun 2018 memungkinkan untuk melaporkan fraud tersebut sebagai tindak pidana, tapi hingga saat ini BPJS Kesehatan tidak pernah melaporkan tindakan fraud sebagai tindak pidana," kata Edy, dalam keterangannya, Rabu, 25 September 2024.
Pada Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan fraud, sanksi administrasi dapat diikuti dengan sanksi tambahan berupa denda yang diberikan kepada pihak yang dirugikan. Sanksi tidak hanya pada lembaga saja.
Pada Pasal 6 Ayat (5) Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan jika ada kecurangan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan, penyelenggara pelayanan kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan maka mereka dapat sanksi administratif dan dapat diikuti dengan pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlu diketahui sanksi administratif ini tidak menghapus sanksi pidana.
"Sudah jelas aturannya bahwa fraud ini bisa ditindak. Maka ketika ada indikasi fraud, silakan untuk investigasi dan jika ada fakta fraud maka bisa diberikan sanksi sesuai aturan," ujar Edy.
Edy juga meminta langkah prefentif agar tidak terjadi fraud. Dia menyarankan kepada BPJS Kesehatan agar melakukan komunikasi dengan pasien sehingga informasi dari pasien dapat mencegah fraud.
"Dengan membangun komunikasi dengan pasien maka phantom billing akan sulit terjadi. Selain itu BPJS Kesehatan juga bisa meningkatkan kualitas verifikator sehingga dapat mengantisipasi fraud pada saat RS mengajukan klaim," ujarnya.
"Fraud dalam bidang kesehatan terbukti berpotensi menimbulkan kerugian finansial negara dalam jumlah yang tidak sedikit," sambungnya.
Ia mencontohkan pontesi kerugian akibat fraud di dunia adalah sebesar 7,29 persen dari dana kesehatan yang dikelola tiap tahunnya. Selain itu juga fraud juga menimbulkan kerugian sebesar USD 0,5 sampai 1 juta di Afrika Selatan berdasar data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan Qhubeka Forensic Services yang diterbitkan oleh WHO pada 2011.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan adanya potensi kerugian karena fraud di bidang kesehatan mencapai 10 persen atau kerugian diperkirakan Rp20 triliun. KPK juga mengungkapkan temuan fraud senilai Rp35 miliar dari klaim JKN pada tiga rumah sakit.
Edy menyatakan pernyataan Wakil Ketua KPK tersebut memang mengacu pada fraud di Amerika Serikat (AS). Dengan adanya data ini, dia menyarankan agar jadi alarm agar tidak terjadi di Indonesia.
"Tidak sedikit bukti dari berbagai negara soal adanya potensi fraud yang ini harus jadi perhatian banyak pihak," ucap Edy.
Ia mencontohkan data dari FBI di AS yang menunjukkan bahwa potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat fraud layanan kesehatan adalah sebesar 3 sampai 10 persen dari dana yang dikelola. Berdasarkan penelitian University of Portsmouth menunjukkan bahwa potensi fraud di Inggris adalah sebesar 3 sampai 8 persen dari dana yang dikelola.