Pakar Sebut Revisi KUHAP Bakal Atur Perubahan Status Tersangka Jadi Saksi Mahkota

Ilustrasi. Metrotvnews.com.

Pakar Sebut Revisi KUHAP Bakal Atur Perubahan Status Tersangka Jadi Saksi Mahkota

Devi Harahap • 21 April 2025 11:28

Jakarta: Pakar hukum pidana Abdul Chair Ramadhan mengungkapkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan mengatur tentang kemungkinan perubahan status tersangka menjadi 'saksi mahkota' untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Peranan saksi mahkota dinilai sangat diperlukan untuk mengungkapkan perkara di pengadilan.

"Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan strategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya," kata Abdul Chair dallam keterangannya, Senin, 21 April 2025.

Lewat model ini, kata dia, bisa ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker). Termasuk, memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus).

Ia menyatakan selama ini ada kecenderungan tindakan penahanan sangat subjektif dan berpotensi untuk diselewengkan. Dalam RUU KUHAP baru Pasal 93 Ayat (5), terdapat parameter yang jelas melihat kondisi-kondisi tertentu, seperti mengabaikan panggilan penyidik dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. 

Alasan itu berupa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerja sama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.

"Maka RUU KUHAP ini sengaja dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri," ujarnya. 
 

Baca juga: Revisi KUHAP Diminta Tak Mendistorsi Fungsi Pengawasan Pers

Selain itu, penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif juga diatur dalam revisi KUHAP. Aturan itu telah mengakomodasi kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian.

"Jika selama ini restorative justice hanya dilakukan saat penyidikan, kini pengaturan keadilan restoratif tak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana," ungkapnya. 

Sementara itu, kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan tersebut menjadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Namun, penggunaan sanksi pidana seharusnya jadi ‘langkah terakhir’ (last resort).

"Dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif dalam KUHAP yang baru, maka perdamaian tersebut menghilangkan kesalahan sebagai unsur subjektif. Perbuatan memang ada, namun dengan adanya perdamaian melalui keadilan restoratif, pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana," tutur dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)