Menlu Prancis Jean-Noel Barrot dalam pertemuan mengenai Palestina-Israel di markas PBB di New York, AS, 28 Juli 2025. (Anadolu Agency)
Paris: Prancis menegaskan bahwa tidak ada jalan lain selain Solusi Dua Negara (Two-State Solution) dalam menyelesaikan konflik Israel–Palestina. Hal itu disampaikan dalam konferensi tingkat tinggi yang digelar bersama Arab Saudi di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AS) pada Senin, 28 Juli.
Mengutip dari The National, Selasa, 29 Juli 2025, pernyataan ini muncul hanya beberapa hari setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan rencana untuk secara resmi mengakui Negara Palestina pada September mendatang, di tengah meningkatnya kemarahan global atas situasi kemanusiaan di Gaza.
“Hanya solusi politik berupa dua negara yang mampu menjawab aspirasi sah rakyat Israel dan Palestina untuk hidup dalam damai dan aman,” ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot di hari pertama pertemuan yang berlangsung selama tiga hari tersebut.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai aktor penting yang berpotensi menjadi katalis dalam mengakhiri perang Gaza.
“Presiden Trump telah mencatat keberhasilan dalam hal ini; ia menjadi pihak yang memfasilitasi gencatan senjata pertama dan satu-satunya sejauh ini dalam konflik ini,” kata Pangeran Faisal kepada wartawan di New York.
“Kami, sebagai mitra kuat Amerika Serikat, terus bekerja sama erat dalam banyak isu. Dan kami berharap AS tetap memimpin upaya perdamaian ini,” tambah dia.
Solusi Dua Negara
Pangeran Faisal juga menegaskan bahwa Riyadh tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel selama perang di Gaza belum berakhir.
Di PBB, Barrot menyerukan agar konsensus internasional soal kebutuhan mendesak solusi politik dibarengi dengan tindakan nyata. Ia mendorong Komisi Eropa agar menekan Israel untuk mencabut blokade keuangan sebesar dua miliar euro yang diklaim sebagai dana milik Otoritas Palestina.
Selain itu, ia meminta agar Israel menghentikan pembangunan permukiman di Tepi Barat, yang dinilai mengancam keutuhan wilayah negara Palestina di masa depan, dan mengakhiri sistem distribusi bantuan pangan di Gaza yang menurutnya telah “dimiliterisasi” melalui lembaga Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung AS dan Israel.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa dalam forum tersebut menyatakan bahwa dorongan terhadap Solusi Dua Negara adalah sinyal bagi rakyat Israel bahwa perdamaian dan integrasi kawasan masih mungkin dicapai.
“Itu hanya bisa terwujud melalui kemerdekaan kami, bukan kehancuran kami,” sebut Mustafa.
“Orang-orang Israel tidak ditakdirkan untuk hidup dalam perang tanpa akhir. Masih ada jalan lain, jalan yang lebih baik, yang membawa pada perdamaian, keamanan, dan kemakmuran bersama. Bukan untuk satu pihak saja, melainkan untuk semua,” lanjut dia.
Mustafa juga menyerukan kepada kelompok Hamas agar menyerahkan kendali atas Gaza serta meletakkan senjata kepada Otoritas Palestina.
Kehancuran di Gaza
Namun, Departemen Luar Negeri AS mengecam konferensi tersebut. Juru bicara Tammy Bruce menyebut forum ini sebagai “tidak produktif” dan “tidak tepat waktu.”
“Upaya ini adalah tamparan bagi para korban 7 Oktober dan sebuah hadiah bagi terorisme,” kata Bruce.
“Ini hanya memperpanjang penderitaan sandera yang masih terperangkap di dalam terowongan. AS tidak akan ikut serta dalam penghinaan ini, tapi akan tetap memimpin upaya nyata di dunia untuk mengakhiri pertempuran dan membawa perdamaian permanen, ungkap dia.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa KTT ini tidak boleh menjadi “latihan retorika baik-baik saja” semata.
“Ini harus menjadi titik balik menentukan. Ini adalah syarat mutlak untuk perdamaian di Timur Tengah yang lebih luas,” tegas Guterres.
Ia menekankan bahwa kehancuran di Gaza telah mencapai tingkat yang tak tertahankan dan bahwa “tidak ada satu pun yang bisa membenarkan penghancuran total Gaza yang terjadi di depan mata dunia.”
Guterres juga mengecam kebijakan Israel, termasuk deklarasi parlemen Knesset pekan lalu yang mendukung aneksasi Tepi Barat, langkah yang disebutnya “ilegal.”
“Kehancuran massal Gaza tidak bisa diterima. Itu harus dihentikan,” pungkas Guterres.
Baca juga:
Berjuang Sendiri, Macron Satu-satunya Pemimpin G7 yang Akan Mengakui Negara Palestina