Berjuang Sendiri, Macron Satu-satunya Pemimpin G7 yang Akan Mengakui Negara Palestina

Presiden Prancis Emmanuel Macron. (Anadolu Agency)

Berjuang Sendiri, Macron Satu-satunya Pemimpin G7 yang Akan Mengakui Negara Palestina

Willy Haryono • 28 July 2025 09:05

Paris: Pengumuman Presiden Emmanuel Macron bahwa Prancis akan menjadi anggota Dewan Keamanan PBB pertama dari negara Barat yang mengakui negara Palestina pada September mendatang telah memicu kegelisahan diplomatik dari Timur Tengah hingga Eropa dan Washington.

Namun, langkah ini bukan muncul secara tiba-tiba.

Ketika Macron mengunjungi kota Arish di Mesir yang berbatasan langsung dengan Gaza pada April lalu, ia dikejutkan oleh krisis kemanusiaan yang kian memburuk. Sekembalinya ke Paris, ia menegaskan bahwa Prancis akan segera mengambil keputusan untuk memberikan pengakuan.

Bekerja sama dengan Arab Saudi, Macron menyusun rencana agar Prancis bersama sekutu G7, yakni Inggris dan Kanada, akan mengakui kenegaraan Palestina, sembari mendorong negara-negara Arab untuk melunak terhadap Israel melalui sebuah konferensi PBB.

Namun, setelah berminggu-minggu negosiasi, Macron gagal mendapatkan dukungan negara lain.

Tiga diplomat menyebutkan bahwa Inggris enggan menghadapi tekanan dari Amerika Serikat, dan Kanada mengambil sikap serupa, membuat Macron akhirnya memilih untuk melangkah sendiri.

"Semakin terlihat jelas bahwa kami tidak bisa menunggu negara lain untuk ikut serta," ujar seorang diplomat Prancis, dikutip dari The Korea Herald, Senin, 28 Juli 2025.

Ia menambahkan bahwa Prancis akan terus bekerja untuk menggalang dukungan lebih luas menjelang konferensi dua negara di bulan September.

Di dalam negeri, Macron menghadapi tekanan besar untuk bertindak, menyusul kemarahan publik atas tayangan memilukan dari Gaza. Namun dengan Prancis sebagai rumah bagi komunitas Muslim dan Yahudi terbesar di Eropa, dan situasi politik yang terpolarisasi, tidak ada langkah yang bisa memuaskan semua pihak.

Pengakuan di PBB

Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, mengecam keputusan Prancis, dengan menyebutnya sebagai bentuk hadiah untuk kelompok pejuang Palestina Hamas yang menguasai Gaza dan melancarkan serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023.

Macron telah berdiskusi panjang mengenai hal ini dengan Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Trump, pada Jumat lalu, mengatakan keputusan Prancis "tidak memiliki bobot apa pun," namun menambahkan bahwa Macron adalah “pria yang baik."

Pejabat Prancis sebelumnya berencana mengumumkan pengakuan ini dalam konferensi bersama Arab Saudi di PBB pada bulan Juni, yang akan membahas peta jalan menuju negara Palestina yang layak sembari menjamin keamanan Israel. Namun konferensi itu ditunda karena tekanan diplomatik besar dari AS dan menyusul serangan udara Israel ke Iran.

Pengumuman Macron pada Kamis lalu kini dikaitkan dengan versi baru dari konferensi tersebut, yang dijadwalkan ulang menjadi pertemuan tingkat menteri pada Senin dan Selasa ini.

Paris juga memutuskan akan menggelar pertemuan kedua yang lebih tinggi, melibatkan kepala negara dan pemerintahan, di sela-sela Sidang Umum PBB bulan September, tempat Macron akan secara resmi menyampaikan pengakuan terhadap negara Palestina.

Beberapa analis menilai Macron menggunakan "umpan pengakuan" ini untuk mendorong konsesi dari Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, rival moderat Hamas, dan para aktor regional lainnya.

"Macron di sini bertindak sebagai katalis untuk mendorong Palestina melakukan reformasi, negara-negara Arab menyediakan pasukan stabilisasi, dan pelucutan senjata Hamas," ujar Rym Momtaz, pemimpin redaksi blog Strategic Europe milik lembaga think tank Carnegie Europe.

Bersifat Simbolik

Namun, sebagian pihak menilai bahwa meski pengakuan ini bernilai simbolis, negara Palestina yang benar-benar berfungsi tetap sulit terwujud, bahkan setelah perang di Gaza berakhir.

"Pengakuan dari negara besar seperti Prancis menunjukkan kekecewaan yang terus meningkat terhadap kebijakan keras kepala Israel," kata Amjad Iraqi, analis senior di International Crisis Group.

"Tapi apa gunanya mengakui sebuah negara jika tak ada upaya nyata untuk mencegahnya hancur?" lanjut dia.

Sejumlah pejabat Prancis mengungkapkan bahwa selama berbulan-bulan, Israel melakukan lobi intensif untuk menggagalkan langkah ini, mulai dari ancaman pengurangan kerja sama intelijen hingga upaya menggagalkan inisiatif regional Prancis, bahkan memberi sinyal kemungkinan pencaplokan wilayah Tepi Barat.

Namun Paris menyimpulkan bahwa Netanyahu akan tetap mengambil langkah apa pun yang dianggap menguntungkan Israel di Tepi Barat, terlepas dari sikap Prancis soal pengakuan kenegaraan Palestina.

Parlemen Israel sendiri pada Rabu lalu telah mengesahkan deklarasi tidak mengikat yang mendesak pemerintah menerapkan hukum Israel di wilayah Tepi Barat, sebuah langkah yang secara luas dipandang sebagai bentuk pencaplokan de facto. Hal ini semakin memperkuat urgensi bagi Paris.

"Jika ada momen dalam sejarah untuk mengakui negara Palestina, meski hanya bersifat simbolik, saya kira saat itu telah tiba," ujar seorang pejabat senior Prancis.

Baca juga:  Indonesia Serukan Dunia Ikuti Prancis dalam Mengakui Palestina sebagai Negara

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Willy Haryono)