Simpatisan PKI. (via Undip.ac.id)
Riza Aslam Khaeron • 30 September 2025 12:51
Jakarta: Komunisme acap kali dicurigai sebagai paham yang tidak bersahabat dengan agama. Kutipan populer seperti “agama adalah candu masyarakat” kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasi tuduhan bahwa Komunisme secara inheren memusuhi agama yang memperkeruh citra komunisme di Ibu Pertiwi.
Kecurigaan ini semakin kuat di Indonesia, terutama pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah peristiwa tersebut, komunisme bukan hanya dicap sebagai ideologi anti-pancasila, tetapi juga dituding sebagai musuh agama.
Narasi yang dibangun pasca-G30S menekankan bahwa PKI dan ideologi komunis secara keseluruhan mengingkari nilai-nilai Ketuhanan, sehingga menimbulkan kesan bahwa komunisme adalah antitesis dari agama.
Hingga kini, tepat pada tanggal 30 September 2025, memperingati 60 tahun setelah upaya kudeta berdarah tersebut, perdebatan soal apakah komunisme benar-benar membenci agama masih terus menjadi topik yang sensitif dan penuh muatan ideologis.
Namun apakah benar komunisme anti-agama? Berikut telaah pandangan komunisme terhadap agama.
Pemikiran Karl Marx Mengenai Agama
Karl Marx kerap dikaitkan dengan ungkapan kontroversialnya, “Agama adalah opium rakyat.” Ujaran ini berasal dari tulisannya
Critique of Hegel's Philosophy of Right (1844), di mana ia menulis bahwa agama adalah “keluhan makhluk yang tertindas, hati dari dunia tanpa hati, dan jiwa dari kondisi tanpa jiwa.”
Bagi Marx, agama bukanlah penyebab ketertindasan, melainkan refleksi darinya. Ia melihat agama sebagai bentuk pelarian psikologis dari ketidakadilan sosial yang mengakar dalam struktur kapitalis.
Agama berfungsi sebagai penghibur bagi mereka yang menderita, tetapi sekaligus menandakan keterasingan manusia akibat struktur sosial yang tidak adil.
Marx menilai bahwa agama lahir dari kondisi sosial yang timpang dan penuh alienasi. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa kebutuhan terhadap agama akan lenyap ketika masyarakat berhasil mencapai pembebasan sosial melalui revolusi.
Dalam kondisi masyarakat tanpa alienasi, keberadaan agama tidak lagi diperlukan.
Lenin dan Pendekatan Anti-Agama Secara Praktis
Gambar: Lukisan Lenin deklarasi kemenangan revolusi, 1917. (D. Nalbandyan, 1950)
Vladimir Lenin, tokoh revolusioner dan arsitek utama pendirian Uni Soviet, mengembangkan gagasan Marx tentang agama melalui pendekatan yang lebih taktis dan terapan. Dalam esainya
Socialism and Religion (1905), ia menyebut agama sebagai “salah satu bentuk penindasan spiritual.”
Lenin berpandangan bahwa agama muncul dari penderitaan dan eksploitasi kelas pekerja, serta membentuk “kabut” yang mengaburkan kesadaran rakyat terhadap kondisi sosialnya yang sesungguhnya.
Ia menyatakan bahwa agama tidak hanya menenangkan penderitaan, namun juga mempertahankan tatanan kapitalistik dengan menanamkan sikap pasrah dan menjanjikan ganjaran surgawi atas penderitaan di dunia.
“
Ketidakberdayaan kelas-kelas tereksploitasi dalam perjuangan mereka melawan para pengeksploitasi, sama tak terelakkannya memunculkan keyakinan akan kehidupan yang lebih baik setelah kematian,” tulis Lenin, yang menurutnya dipakai oleh kelas penguasa untuk melanggengkan status quo.
Ia menekankan bahwa pemisahan institusi agama dari negara merupakan langkah revolusioner yang wajib dilakukan. Ia menyerukan penghentian seluruh dukungan negara terhadap lembaga-lembaga keagamaan, dan menyatakan bahwa urusan beragama haruslah menjadi hak personal, bukan institusional.
“Setiap orang harus sepenuhnya bebas memeluk agama apa pun yang disukainya, atau tidak memeluk agama apa pun, yaitu menjadi ateis, yang pada umumnya dimiliki oleh setiap sosialis,” ujar Lenin.
Namun, Ia juga menegaskan bahwa dalam konteks perjuangan ideologi, partai sosialis tidak boleh bersikap netral terhadap agama. Ia menegaskan agama bukanlah urusan pribadi terkait pengelolaan partai.
Lenin mendorong propaganda ilmiah dan pendidikan materialisme sebagai alat utama untuk mengikis “kabut agama”. Ia menolak penghapusan agama melalui larangan dan represi langsung, melainkan menggarisbawahi bahwa transformasi ekonomi dan sosiallah yang akan menghilangkan akar dari agama itu sendiri.
Dengan pendekatan ini, Lenin tidak sekadar mengembangkan filsafat Marx, melainkan menerapkannya dalam bentuk kebijakan negara yang kelak menjadi dasar bagi program ateisme resmi di Uni Soviet.
Langkah-langkah konkret seperti pencabutan subsidi gereja, penyitaan aset keagamaan, serta kampanye propaganda melalui organisasi seperti
Liga Ateis Militan merupakan implementasi langsung dari visi ini.
Penerapan Kebijakan Anti-Agama di Negara Komunis
Foto: Katederal Christ the Savior dihancurkan atas perintah Bolsheivik, 1931. (Domain Publik)
Di wilayah Eropa Timur, rezim-rezim
komunis, terutama Partai Bolshevik di Uni Soviet, melaksanakan program anti-agama secara terstruktur dan sistemik. Kongres Kedelapan Partai Komunis Rusia pada 1920 menetapkan bahwa sekadar memisahkan gereja dari negara tidaklah cukup—pengaruh agama dalam masyarakat harus dimusnahkan secara aktif.
Aleksandr Solzhenitsyn, penulis dan pembangkang dari Uni Soviet, menyatakan bahwa: “Dalam sistem filosofis Marx dan Lenin, kebencian terhadap Tuhan adalah kekuatan pendorong utama.” Ia menegaskan bahwa ateisme militan bukan sekadar konsekuensi, melainkan pusat dari ideologi komunisme.
Selama periode awal kekuasaan Bolshevik, gereja-gereja disita, kekayaan institusi keagamaan dirampas, dan para pemuka agama ditangkap atau dibunuh. Antara 1920 dan 1930, lebih dari 28 uskup dan 1.200 imam Ortodoks dibunuh di Uni Soviet.
Lenin menggambarkan agama sebagai “salah satu bentuk penindasan spiritual” yang harus diberantas demi mengangkat rakyat dari keterbelakangan.
Foto: Masjid Kubelie di Albania sebelum dihancurkan. (Domain Publik)
Korban represi tidak hanya berasal dari kalangan Kristen Ortodoks. Lebih dari 10.000 masjid ditutup pada 1930, dan banyak sinagog Yahudi juga mengalami nasib serupa.
Kampanye ini diperkuat oleh pendirian
Liga Ateis Militan pada 1925, yang bertugas menyebarkan ateisme melalui pendidikan dan propaganda. Salah satu tonggak utama adalah “Rencana Lima Tahun untuk Ateisme” tahun 1932, yang menargetkan penutupan semua tempat ibadah pada 1937.
Kampanye ini menyebabkan penangkapan lebih dari 140.000 tokoh agama, dengan 85.000 di antaranya dieksekusi.
Di Albania, Enver Hoxha pada 1967 secara resmi menyatakan negaranya sebagai negara ateis pertama di dunia. Tempat ibadah dihancurkan, sementara para pemimpin agama dipenjarakan.
Di Bulgaria, kebijakan asimilasi memaksa Muslim mengubah nama-nama mereka dan melepaskan identitas religius mereka.
Kasus Berbeda: Pandangan PKI terhadap Agama
Foto: DN Aidit dalam Kongres Nasional V Partai Komunis Indonesia. (Domain Publik)
Berbeda dari pendekatan keras Soviet, Partai
Komunis Indonesia (PKI) mengadopsi pendekatan yang lebih kontekstual. PKI menyadari bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki afiliasi religius yang kuat.
Dalam wawancara dengan Majalah Pembina tahun 1964, Ketua PKI DN Aidit menegaskan bahwa partainya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia menyatakan bahwa “agama adalah urusan pribadi,” dan PKI tidak melarang kadernya untuk beragama.
Aidit menilai bahwa Marxisme dapat menjadi instrumen analitis untuk memahami latar sosial kemunculan agama. Ia menegaskan bahwa “agama yang progresif dapat menjadi kekuatan revolusioner melawan kolonialisme dan feodalisme.”
PKI pun terbuka untuk bekerja sama dengan partai-partai berbasis agama yang menurutnya sejalan dalam menentang imperialisme dan membangun masyarakat tanpa kelas.
Salah satu contohnya adalah keterlibatan NU dalam Front Nasional bersama PKI pada era Demokrasi Terpimpin, di mana D.N. Aidit dan KH Idham Chalid duduk bersama sebagai pimpinan.
Selain itu, PKI juga memberikan dukungan politik terhadap Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953–1955), yang diisi oleh tokoh-tokoh partai Islam seperti KH Zainul Arifin dan Masjkur, meskipun PKI tidak memiliki kursi dalam kabinet tersebut.
Ia juga memberikan kritik tajam terhadap manipulasi agama demi mempertahankan struktur kekuasaan Dalam pidatonya yang terkenal, ia berkata:.
“Jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, maka agama itu revolusioner. Tetapi jika dipakai untuk memperkuat penindasan, maka hanya orang gila yang akan membela agama seperti itu.”
Aidit menyampaikan bahwa dalam struktur masyarakat kelas, agama kerap dijadikan legitimasi oleh elit penguasa yang menindas. Dalam esai Tentang Marxisme (1962), ia menegaskan bahwa pemisahan agama dari negara dan pendidikan adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat adil, namun tidak berarti menolak keyakinan itu sendiri.
PKI bahkan mendorong kadernya yang religius untuk tetap menjalankan ibadah, selama hal itu tidak bertentangan dengan perjuangan kelas.
Pada akhirnya, perlakuan komunis terhadap agama tergantung pada masing-masing partai dan seberapa besar kekuasaan mereka di suatu negara. Sama halnya dengan agama, terdapat banyak aliran terhadap implementasi marxisme.
Suatu isu yang dianggap tabu oleh suatu aliran dan partai, mungkin berbeda dengan partai lainnya dikarenakan faktor pertimbangan pragmatisme dan juga pandangan yang berbeda dari kader dari suatu partai.