76,3% Publik Menolak Wacana Pilkada Melalui DPRD

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby. Dok. Istimewa

76,3% Publik Menolak Wacana Pilkada Melalui DPRD

Achmad Zulfikar Fazli • 15 January 2025 20:12

Jakarta: Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD untuk efisiensi biaya mendapat sentimen negatif dari publik. Mayoritas publik menolak wacana ini.

Data ini didapat dari hasil rangkuman LSI Denny JA lewat aplikasi yang membaca percakapan di media sosial dan media online. Analisis isi komputasional menggunakan alat ‘LSI Internet’ untuk mendeteksi topik dan sentimen publik. 

Informasi dikumpulkan dari berbagai platform digital. Yakni, media sosial, berita online, blog, forum, video, hingga podcast.

Hasilnya dari 1.898 percakapan yang dianalisis, sebanyak 76,3 persen menunjukkan penolakan. Publik khawatir transparansi akan menjadi korban, dan politik transaksional di DPRD akan meningkat.

Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana ini. Alasannya, efisiensi biaya.

"Tetapi demokrasi bukan sekadar soal efisiensi, ia adalah investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat," ujar peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, Jakarta, Rabu, 15 Januari 2025

Ambang Batas Pilkada

Menurut dia, solusi perbaikan pilkada ialah menghapus ambang batas pencalonan, seperti pemilihan presiden (pilpres). Sehingga setiap partai dibolehkan mencalonkan kepala daerah, dan pemilihan tetap dilakukan langsung oleh rakyat.

Dia menilai menerapkan model tanpa ambang batas dalam pilkada dapat membawa banyak manfaat nyata. Demokrasi lokal akan semakin kuat, karena rakyat diberikan lebih banyak pilihan.

"Politik transaksional, yang selama ini menjadi batu sandungan, dapat dihindari. Pemimpin baru dengan visi segar dapat muncul dan membawa perubahan yang relevan dengan kebutuhan lokal," kata dia

Dia mengatakan kompetisi menjadi lebih sehat, jika tidak ada ambang batas dalam pilkada. Kemudian, fokus penilaian pada kualitas kandidat, bukan kekuatan partai besar.

“Partisipasi rakyat meningkat, karena mereka merasa lebih terwakili dalam proses politik. Dan yang tidak kalah penting, sistem pemilu menjadi lebih seragam, menciptakan harmoni antara pilpres dan pilkada,” ujar dia.
 
Baca Juga: 

MK Persoalkan Akreditasi Lembaga Pemantau Penggugat Pilkada Kabupaten Nabire


Dia menyampaikan negara-negara lain bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia. Misalnya, di Swiss, partai kecil berpeluang besar mencalonkan kandidat, dan memberikan representasi politik yang lebih luas.

"Di Kanada, sistem tanpa ambang batas berhasil mengurangi korupsi politik. Di Prancis, model ini melahirkan pemimpin inovatif seperti Emmanuel Macron," kata dia.

Menurut Adjie, Indonesia dengan segala keberagamannya memiliki potensi melangkah ke arah yang sama. Demokrasi yang inklusif dan kompetitif bukan hanya mimpi, tapi tujuan yang dapat dicapai dengan keberanian untuk berubah.

"Penghapusan ambang batas tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat nilai-nilai demokrasi," ujar dia.

Menurut dia, sistem ini memberikan ruang yang lebih besar bagi rakyat untuk menjadi aktor utama dalam demokrasi. Dalam era baru ini, Indonesia tidak hanya memperkuat praktik demokrasinya, tetapi juga menjadi model bagi negara lain.

“Hasil riset LSI Denny JA memberi pandangan jika setiap partai, setiap rakyat, setiap suara memiliki hak memilih pemimpinnya, mekanisme ini lebih menjamin lahirnya para pemimpin baru yang lebih dekat dengan suasana zamannya,” ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)