Ilustrasi ?Tinjau Ulang Tunjangan Tinggi Pejabat. Dok. MI
Media Indonesia • 5 September 2025 07:42
AKSI unjuk rasa besar-besaran di berbagai daerah belakangan ini memaksa para elite politik dan pemerintah membuat perbaikan. Memang baru sedikit dari daftar panjang tuntutan publik yang ditindaklanjuti, tetapi setidaknya ada yang sudah dipenuhi.
Partai-partai politik menonaktifkan perwakilan mereka di parlemen yang dianggap turut memicu kemarahan rakyat lewat ucapan dan tingkah laku. Pun, pemerintah sepakat dengan DPR RI untuk menyetop tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan bagi para anggota DPR RI.
Apakah sudah cukup? Tentu belum. Jangan lupa, daftar tuntutannya panjang. Bahkan, baru dari sisi yang menyangkut keadilan fiskal saja masih banyak yang harus dibenahi.
Rakyat yang tertekan oleh beban ekonomi tetap harus membayar berbagai pungutan pajak yang tarifnya malah terus naik.
Sebaliknya, para wakil rakyat dan pejabat negara begitu dimanjakan dengan berbagai tunjangan yang dibayar oleh negara dengan uang pajak.
Bukan itu saja, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2010, pajak penghasilan para pejabat negara ditanggung oleh negara.
Semestinya, para pejabat negara justru yang paling depan memberikan contoh kepada masyarakat untuk taat membayar pajak. Jadi, ketika pemerintah menaikkan tarif pajak, pejabat yang terhormat juga bisa merasakan. Dari situ baru bisa muncul rasa empati, tidak perlu harus didemo dulu.
Belum lagi masalah minimnya transparansi. Penghasilan pengemban amanat rakyat yang dibayarkan oleh negara, misalnya, disebut tembus Rp200 juta per bulan. Angka itu setara lebih dari 30 kali lipat upah minimum regional (UMR) di DKI Jakarta, yang pada 2025 sebesar Rp5,4 juta. Mantan anggota DPR RI, Mahfud MD, bahkan mengaku total penghasilan wakil rakyat bisa menyentuh miliar rupiah per bulan.
Baca Juga:
Transformasi DPR, Puan Sampaikan Seluruh Fraksi Sepakat Hapus Tunjangan Perumahan |
atau memamerkan gaya hidup mewah, sama sekali tidak peka terhadap kondisi rakyat.
Reformasi untuk menegakkan keadilan fiskal sudah sangat mendesak. Pemerintah dan DPR mesti menggodok ulang gaji, tunjangan, dan berbagai komponen pendapatan pejabat negara hingga daerah, apalagi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terimpit. Tidak berlebihan kiranya jika UMR setempat dijadikan salah satu faktor untuk menghitung besaran gaji pejabat.
Keadilan fiskal seyogianya menyentuh pula pembayaran pensiun pejabat negara. Sungguh nyata ketidakadilan ketika seorang 'pensiunan' wakil rakyat hingga menteri mendapatkan uang pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan kepada tanggungan.
Padahal, masa kerjanya hanya 5 atau 10 tahun. Akan lebih adil ketika pejabat negara hanya berhak mendapat uang penghargaan dengan nilai yang wajar sesuai masa pengabdian.
Setop memberikan alasan pejabat harus dibayar negara dengan penghasilan tinggi agar tidak tergoda rasuah. Faktanya, penghasilan sudah dinaikkan, tapi masih juga ada korupsi.
Yang diperlukan bukan memperbesar penghasilan pejabat. Tekan nafsu keserakahan pejabat dengan undang-undang perampasan aset yang memuat aturan pembuktian terbalik harta penyelenggara negara. Sudahi hak-hak istimewa pejabat yang hanya membebani keuangan negara. Dengan begitu, sakit hati rakyat mudah-mudahan akan terobati.