Ilustrasi rupiah. Foto: dok MI/Rommy Pujianto.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan hari ini kembali mengalami penguatan.
Mengutip data Bloomberg, Rabu, 31 Juli 2024, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp16.260 per USD. Mata uang Garuda tersebut menguat 40 poin atau setara 0,25 persen dari posisi Rp16.300 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memperkirakan nilai tukar rupiah pada perdagangan Kamis besok akan kembali menguat.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.210 per USD hingga Rp16.280 per USD," ujar Ibrahim, dikutip dari analisis hariannya.
Ia pun membeberkan penyebab menguatnya nilai tukar rupiah saat melawan dolar AS hari ini, diantaranya sentimen yang berasal dari eksternal maupun internal.
Suku bunga Fed diperkirakan tetap
Para pedagang menjauh dari dolar sebelum penutupan rapat Fed di kemudian hari. Bank sentral secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil.
Namun, fokus akan tertuju pada sinyal potensial pemangkasan
suku bunga, menyusul beberapa pembacaan inflasi yang lemah dan komentar dovish dari pejabat Fed. Konsensus umum sebagian besar mendukung pemangkasan 25 basis poin pada September.
Ketegangan di Timur Tengah memanas menyusul laporan Kepala Hamas Ismail Haniyeh telah dibunuh di Iran, menurut pernyataan dari kelompok militan Palestina Hamas dan laporan media pemerintah Iran pada Rabu.
Hal ini terjadi sehari setelah pemerintah Israel mengklaim telah menewaskan komandan senior Hizbullah dalam serangan udara di Beirut pada Selasa sebagai balasan atas serangan roket lintas batas pada Sabtu di Israel.
Serangan terbaru terjadi meskipun ada upaya diplomatik oleh pejabat AS dan PBB untuk mencegah eskalasi besar yang dapat mengobarkan Timur Tengah yang lebih luas. Secara terpisah, Amerika Serikat juga melakukan serangan di Irak dalam konflik terbaru di wilayah tersebut.
Di Asia, data PMI menunjukkan sektor manufaktur Tiongkok menyusut selama tiga bulan berturut-turut pada Juli, sementara pertumbuhan nonmanufaktur melambat. Data tersebut muncul setelah pertemuan Politbiro Tiongkok yang menunjukkan pemerintah menjanjikan lebih banyak langkah stimulus, terutama yang ditujukan untuk meningkatkan sentimen konsumen.
"Komentar dari Politbiro dan pembacaan PMI yang lemah meningkatkan harapan untuk lebih banyak langkah stimulus, meskipun analis memperingatkan pelaksanaan Beijing harus diperhatikan untuk mendapatkan lebih banyak petunjuk," tutur Ibrahim.
Peringkat utang Indonesia bertahan di level BBB
Diketahui, lembaga pemeringkat S&P kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating atau peringkat utang Indonesia pada BBB, satu tingkat di atas investment grade, dengan
outlook stabil pada 30 Juli 2024.
S&P meyakini prospek pertumbuhan ekonomi indonesia akan tetap solid dengan ketahanan eksternal dan beban utang pemerintah yang terjaga, didukung kerangka kebijakan moneter dan fiskal yang kredibel.
S&P memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga sampai empat tahun ke depan akan tetap terjaga sekitar 5,0 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut didorong permintaan domestik yang tetap kuat, serta belanja pemerintah dan investasi swasta yang meningkat.
Sementara itu, ketahanan sektor eksternal akan tetap terjaga pada jangka menengah. Kinerja sektor eksternal didukung prakiraan kenaikan ekspor sejalan dengan implementasi kebijakan hilirisasi di tengah pelemahan harga komoditas
S&P juga mengapresiasi komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjaga inflasi yang terjaga sejak 2010. Selain itu, S&P memproyeksikan inflasi pada 2024-2025 akan berada pada kisaran target 2,5 persen plus minus satu persen, masing-masing sebesar 2,8 persen dan 3,0 persen.
Selain itu, inovasi strategi operasi moneter yang pro-market dengan penggunaan instrumen berbasis pasar dinilai semakin meningkatkan fleksibilitas kebijakan moneter. Pada sektor fiskal, S&P memandang Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk menjaga defisit fiskal di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Secara umum, S&P meyakini pemerintahan baru akan memperhatikan aspek keberlanjutan kebijakan guna menjaga kredibilitas serta menghindari disrupsi ekonomi dan keuangan yang signifikan. S&P sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan
outlook stabil pada 4 Juli 2023.