Ilustrasi, potret anak-anak yang tinggal dalam garis kemiskinan. Foto: dok MI/Panca Syurkani.
Media Indonesia • 2 July 2024 12:36
Jakarta: Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai program pengentasan kemiskinan di era Joko Widodo (Jokowi) bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Dia menyebut penanggulangan kemiskinan bergantung pada kebijakan bantuan sosial (bansos), bukan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Maret 2019 hingga Maret 2024, presentase penduduk miskin stagnan pada kisaran sembilan persen. Pada Maret 2024 kemiskinan nasional tercatat sebesar 9,03 persen atau menjadi 25,22 juta orang. Penurunan angka kemiskinan secara tahunan (year on year/yoy) hanya 680 ribu orang terhadap Maret 2023.
"Penurunan angka kemiskinan di era Presiden Jokowi bukan sebuah prestasi yang dapat dibanggakan karena diraih atas kebijakan bansos yang sangat masif," ungkap Yusuf kepada Media Indonesia, Selasa, 2 Juli 2024.
Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, selain pemberian bansos reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, pemerintah juga menggulirkan berbagai bansos ad-hoc tambahan yang nyaris tiada henti sejak awal 2023.
Mulai dari bansos beras antara April-Desember 2023 yang kemudian diperpanjang hingga Juni 2024. Kemudian, bansos BLT El-Nino pada November hingga Desember 2023 dikucurkan dan diperpanjang hingga kuartal I-2024.
Pada awal 2024, BLT mitigasi risiko pangan untuk Januari-Maret 2024 juga diberikan. Yusuf berpandangan derasnya bansos tersebut dapat meningkatkan daya beli dan pengeluaran warga miskin dalam jangka pendek. "Tidak heran bila pada Maret 2024 angka kemiskinan turun," imbuh dia.
Baca juga: Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Turun 680 Ribu Selama Setahun |