Ilustrasi. Medcom
Siti Yona Hukmana • 8 December 2025 21:34
Jakarta: Polri dipandang mengambil peran dalam mengatasi bencana di Sumatra. Bahkan, Korps Bhayangkara dinilai berupaya mengintegrasikan pendekatan kemanusiaan, penegakan hukum lingkungan, dan tata kelola risiko secara lebih sistematis.
"Di tengah situasi bencana yang kompleks, banjir bandang, longsor, serta terputusnya akses antarwilayah, Polri bergerak dengan pola yang menampilkan tiga elemen kunci, yaitu kecepatan mobilisasi, efisiensi koordinasi, dan adaptasi fungsi kepolisian ke ranah kemanusiaan," kata Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), Haidar Alwi dalam keterangan tertulis, Senin, 8 Desember 2025.
Menurut dia, kehadiran personel yang membantu evakuasi korban, pengoperasian unit K-9, pendirian pos kesehatan, hingga pendistribusian logistik menunjukkan Polri tidak lagi membatasi tugas pada keamanan. Tetapi ikut mengisi celah-celah kritis dalam penanganan bencana ketika kapasitas daerah belum memadai.
"Di sisi lain, bencana tersebut membuka kembali mata publik tentang faktor-faktor yang memperparah kerusakan, khususnya dugaan praktik pembalakan liar. Dalam konteks inilah langkah Polri melakukan penyelidikan dan penindakan terhadap illegal logging menjadi signifikan," ujar Haidar Alwi.
Dia menjelaskan media arus utama menyoroti temuan kayu-kayu gelondongan di lokasi banjir menjadi titik awal penyelidikan. Tindakan ini diyakini menjadi cerminan bahwa Polri mulai memosisikan kejahatan lingkungan bukan lagi sebagai pelanggaran biasa, tetapi sebagai ancaman yang berdampak langsung terhadap keselamatan warga.
"Alih-alih hanya menindak pelaku saat ada laporan, Polri mencoba menghubungkan pola kejahatan lingkungan dengan risiko bencana, sehingga pendekatan hukum dapat diarahkan pada pencegahan kerusakan yang lebih besar," tutur Haidar Alwi.
Baca Juga:
Menko Polkam Konsolidasikan TNI–Polri–BIN dalam Penanganan Bencana Sumatra |
Penindakan yang dilakukan mulai dari penangkapan pelaku, penyitaan kayu ilegal, hingga pengembangan jaringan distribusi kayu, dinila bukti bahwa Polri mencoba mengungkap struktur ilegal logging, bukan sekadar menangkap pelaku lapangan.
"Ini penting karena karakter kejahatan lingkungan terorganisir. Ada operator lapangan, pengangkut, penadah, hingga pihak yang mungkin terhubung dengan oknum pemilik modal," jelasnya.
Dengan kata lain, efektivitas penegakan hukum tidak hanya diukur dari jumlah kayu yang disita, tetapi dari sejauh mana penyidikan mampu menelusuri rantai pasok dan menutup ruang operasi para pelaku. Meskipun demikian, upaya Polri menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah kebutuhan memperkuat kapasitas forensik lingkungan.
"Pembuktian asal-usul kayu, penyebab kerusakan di titik tertentu, serta pemetaan ruang jaringan operasi membutuhkan kemampuan teknis dan kolaborasi lintas lembaga, terutama dengan kementerian yang mengelola kehutanan dan lingkungan hidup," papar Haidar Alwi.
Tantangan lainnya adalah menjaga transparansi proses hukum dalam isu-isu yang sensitif. Mengingat praktik pembalakan liar sering kali melibatkan kepentingan ekonomi lokal maupun regional. Kecermatan penyidikan dan komunikasi publik menjadi faktor yang menentukan apakah masyarakat akan percaya bahwa hukum ditegakkan tanpa kompromi.
"Apresiasi patut diberikan karena Polri tidak hanya bertindak reaktif, namun mulai mengembangkan pola antisipatif terhadap kejahatan lingkungan," ujar Haidar Alwi.