Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Wahyudi Winarjo MSi. Dokumentasi/ UMM.
Daviq Umar Al Faruq • 23 June 2025 06:48
Malang: Polemik sengketa kepemilikan 13 pulau antara Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung di Jawa Timur, baru-baru ini menjadi sorotan. Konflik serupa yang terjadi antara Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh diharapkan menjadi pelajaran penting dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Dr Wahyudi Winarjo, mengatakan kasus sengketa wilayah di Indonesia seringkali mengikuti pola tertentu. Ia mencontohkan seperti kasus pagar laut yang sempat menjadi sorotan beberapa waktu lalu.
"Di Indonesia itu biasanya begitu. Kalau sudah ada suatu kasus terungkap gitu, itu kemudian diikuti oleh pengungkapan kasus lain yang serupa," kata Wahyudi saat dikonfirmasi, Minggu, 22 Juni 2025.
Dalam permasalahan sengketa pulau ini, Wahyudi menyoroti pentingnya konteks historis dalam menentukan kepemilikan. Ia menjelaskan Keputusan Mendagri yang berpedoman pada pemetaan geospasial terbaru perlu diimbangi dengan data historis.
"Konteks historis itu harus diperhatikan. Tidak bisa hanya berpedoman pada hasil pemetaan baru yang lebih pada penghitungan geospasial ya, atau kedekatan pulau dengan wilayah administrasi pemerintah daerah tertentu," jelasnya.
Wahyudi menerangkan dokumen atau data historis terkait pengelolaan, pengawasan, atau kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu pemerintah daerah di kawasan pulau-pulau itu merupakan hal yang krusial. Ia pun mencontohkan kasus sengketa Sipadan Ligitan, antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun silam.
"Seperti dulu lepasnya Sipadan Ligitan itu kan karena ada dokumen-dokumen bahwa selama ini Malaysia itu lebih memiliki keterikatan sejarah di dalam administrasi kependudukan di daerah ke penduduk Sipadan Ligitan. Jadi memang konteks itu diperhatikan," ungkapnya.
Wahyudi menguraikan ada tiga poin penting yang bisa dipetik dari kasus ini. Pertama, institusi pemerintah, terutama yang bertetangga, harus saling berkomunikasi dan tidak berjalan sendiri dalam menetapkan kepemilikan pulau.
"Setidaknya yang bertetangga itu harus saling memberitahu atau saling mengetahui, saling ada komunikasi," imbuhnya.
Kedua, para kepala daerah diingatkan untuk selalu cermat dan terus-menerus memperhatikan, mengawasi, serta mengelola setiap wilayahnya. Hal ini untuk menghindari kejutan seperti tiba-tiba wilayahnya diakui oleh daerah lain.
Ketiga, Wahyudi menyarankan agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengumpulkan para pemimpin daerah untuk duduk bersama dan mencermati hasil pemetaan berdasarkan Keputusan Mendagri. Ini untuk menghindari kasus serupa Sumut-Aceh di mana satu objek pulau memiliki nama berbeda di dua administrasi yang berbeda.
"Ini menjadi pelajaran bagi kita untuk kita selalu pay attention terhadap apa yang dimiliki. Karena semua yang diberikan, yang diamanahkan kepada suatu pemimpin kepala daerah itu merupakan tanggung jawab dia. Jadi kita nggak bisa lepas dari tanggung jawab itu," ujarnya.
Sebagai informasi 13 pulau yang jadi rebutan Tulungagung dan Trenggalek ini terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil dan batu karang di perairan Samudra Hindia, wilayah pesisir selatan Jawa Timur.
Pulau-pulau itu antara lain Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, Pulau Jewuwur, Pulau Karangpegat, Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Sruwicil, dan Pulau Tamengan.
Pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni, namun memiliki nilai strategis dalam tata kelola wilayah pesisir. Seperti zona konservasi laut, sumber daya perikanan dan ekosistem karang serta potensi wisata bahari.