Pakar Nilai Pembatasan Jurnalisme Asing Ancam Kebebasan Pers Negeri

Ilustrasi Pers. (Freepik)

Pakar Nilai Pembatasan Jurnalisme Asing Ancam Kebebasan Pers Negeri

Riza Aslam Khaeron • 15 April 2025 11:28

Yogyakarta: Pakar komunikasi dan jurnalisme politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Wisnu Prasetya Utomo, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 yang dinilai mengancam kebebasan pers di tanah air, terutama dalam konteks jurnalis asing.

Peraturan ini mewajibkan jurnalis asing yang ingin meliput di lokasi tertentu untuk terlebih dahulu memperoleh surat keterangan dari kepolisian.

"Polisi tidak punya wewenang untuk mengatur kegiatan jurnalistik, saya kira ini menjadi masalah. Selama ini kebijakan pers sudah di wilayah Komdigi dan diawasi oleh Dewan Pers," ujar Wisnu, Yogyakarta, Senin, 14 April 2025, mengutip laman UGM.

Pasal 5 ayat (1) huruf b Perpol Nomor 3 Tahun 2025 menyebut bahwa surat keterangan kepolisian harus diterbitkan untuk jurnalis asing yang melakukan peliputan di lokasi tertentu. Prosedur tersebut dilaksanakan melalui permintaan dari pihak penjamin jurnalis kepada Baintelkam Polri atau Ditintelkam Polda, sesuai dengan Pasal 8.

Wisnu menilai aturan ini sebagai bentuk kebijakan yang overreaching dan bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi serta konstitusi Indonesia. Ia menyebut bahwa kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta bahwa pengawasan kegiatan jurnalistik bukanlah ranah institusi kepolisian.

"Alasan menjaga stabilitas negara ini tidak relevan. Kalau memang ingin menjaga stabilitas, ya diselesaikan konfliknya. Bukan membatasi pemberitaan oleh media asing," ungkap Wisnu, Yogyakarta, Senin, 14 April 2025.
 

Baca Juga:
Permintaan Maaf Diminta Tak Setop Proses Hukum Kekerasan Wartawan di Stasiun Tawang

Ia juga mengingatkan bahwa peran media asing sangat signifikan dalam membangun ekosistem demokrasi, terutama saat media nasional menghadapi tekanan. "Apa yang terjadi di Indonesia terhubung dengan dunia global, mereka bisa membantu menyuarakan ketika pers dalam negeri mendapat tekanan," tambahnya.

Peraturan tersebut juga dikritik karena proses penyusunannya tidak melibatkan badan-badan yang selama ini menjadi pemangku kebijakan dalam urusan pers seperti Dewan Pers, KPI, organisasi jurnalis, dan komunitas media. Hal ini, menurut Wisnu, mengindikasikan lemahnya keterlibatan publik dalam pembuatan regulasi yang berdampak luas.

"Adapun upaya-upaya untuk meregulasi pers berkaitan dengan perlindungan dan pengawasan, perlu melibatkan seluruh pihak, baik komunitas pers maupun lembaga yang menaungi kebijakan pers," pungkasnya.

Pasal-pasal dalam Perpol tersebut antara lain mengatur tentang lokasi peliputan terbatas, pengajuan surat izin secara elektronik, hingga pemberian informasi oleh pihak penginapan terhadap aktivitas jurnalis asing. Jika tidak ditinjau ulang, peraturan ini dinilai akan merusak citra Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung kebebasan berekspresi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)