Ch. O. van der Plas. (Jan de Jong / Anefo)
Riza Aslam Khaeron • 18 October 2025 15:44
Jakarta: Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2025 menjadi momentum refleksi atas makna persatuan bangsa.
Namun di balik semangat "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia" yang digaungkan dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, tidak semua orang terkesan terhadap salah satu peristiwa yang membangkitkan nasionalisme bangsa tersebut
Salah satu tokoh penting yang mendokumentasikan pandangan resmi pemerintah kolonial saat itu adalah Ch. O. van der Plas, seorang penasihat urusan pribumi (Adviseur voor Inlandsche Zaken) untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dalam laporan tertanggal 3 November 1928, Van der Plas secara eksplisit menyampaikan bahwa dia tidak terlalu terpukau terhadap penyelenggara kongres, kemampuan bahasa mereka, maupun lagu Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan dalam ajang historis tersebut.
Berikut ulasan lengkap terhadap kesan pejabat Belanda terhadap peristiwa penting yang mendorong lahirnya bangsa Indonesia.
Kemampuan Bahasa Indonesia Pemuda Diremehkan
Berdasarkan tulisan Keith Foulcher
Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood tahun 2000 publikasi
Asian Studies Review, tercatat bahwa dalam laporan bertanggal 3 November 1928, Ch. O. van der Plas menilai ketua Kongres Pemuda II, Soegondo Djojopoespito, tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam menyampaikan pikiran menggunakan bahasa Indonesia.
Ia mencatat bahwa Soegondo tidak memiliki wibawa dan kesulitan mengekspresikan diri dalam bahasa tersebut:
"Ketua kongres, mahasiswa Soegondo, sama sekali tidak mampu menjalankan tugasnya dan tidak memiliki wibawa. Ia mencoba berbicara dalam 'bahasa Indonesia', namun ternyata hanya bisa mengungkapkan diri secara sangat terbata-bata," tulis Van der Plas.
Seperti dijelaskan oleh Foulcher, bahasa Belanda masih menjadi bahasa utama yang digunakan dalam interaksi intelektual dan keseharian para
pemuda terpelajar pada masa itu.
Bahkan dalam Kongres
Pemuda I dua tahun sebelumnya, hampir seluruh jalannya sidang dilakukan dalam bahasa Belanda. Hanya segelintir delegasi yang secara khusus meminta izin untuk berbicara dalam bahasa Melayu.
Penggunaan bahasa Belanda tidak dianggap janggal karena memang sudah menjadi bahasa komunikasi formal di kalangan pemuda berpendidikan tinggi di tahun 1920-an.
Pada Kongres
Pemuda II, penggunaan bahasa Melayu memang lebih diprioritaskan. Namun, masih banyak peserta yang belum fasih menggunakan bahasa tersebut dan alhasil berpendapat dan berpidato dalam bahasa Belanda.
Dalam satu kejadian, Ny. Poernomowoelan menyampaikan pidato mengenai pendidikan dan lingkungan keluarga dalam bahasa Belanda. Setelah pidato selesai, peserta kongres kemudian meminta pidato tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu yang diamini oleh Mohammad Yamin selaku Sekretaris Kongres.
Di bagian lain laporannya, Van der Plas menyampaikan bahwa sebagian peserta, khususnya dari etnis Jawa dan Sunda, tidak merespons ketika melihat pembicara terbata-bata menggunakan bahasa Melayu. Ia menafsirkan sikap diam mereka sebagai ekspresi keberatan terhadap penggunaan bahasa tersebut.
"Orang Jawa, Sunda, dan lainnya yang merasa tidak nyaman dengan gagasan meninggalkan bahasa sendiri demi bahasa Melayu ('Indonesia') hanya diam dan nyaris tidak tertawa ketika ketua dan pembicara lain menunjukkan betapa jauhnya mereka dari penguasaan bahasa Melayu yang baik," tulis Van der Plas.
Lagu Indonesia Raya Sebagai "Lambang Kemerosotan Selera"
Pada penutupan Kongres
Pemuda II, Wage Rudolf Soepratman memainkan lagu ciptaannya, Indonesia Raya, dengan iringan biola dan gitar. Lagu tersebut diperdengarkan di hadapan seluruh peserta kongres dan mendapat sambutan hangat.
Namun, kesan dari Van der Plasl sangat berbeda. Dalam laporannya, Ch. O. van der Plas mencemooh lagu Indonesia Raya. Ia menyebut lagu tersebut memiliki “melodi Eropa yang dangkal” dan “rima cacat”, serta menganggapnya sebagai contoh dari kemerosotan selera musik. Meski demikian, ia menyimpulkan bahwa lagu itu tidak berbahaya secara politik.
“Dengan melodi Eropanya yang dangkal dan rima yang pincang, lagu itu merupakan lambang kemerosotan selera, namun secara politik tidak membahayakan,” tulis Van der Plas
Sebagai dokumen kolonial yang mencatat langsung jalannya Kongres
Pemuda II, laporan Ch. O. van der Plas menyuguhkan potret bagaimana pemerintah Hindia Belanda memandang remeh upaya-upaya awal
pemuda Indonesia dalam membangun identitas kebangsaan.