Gedung MK. Foto: Medcom.id.
Anggi Tondi Martaon • 12 December 2025 16:12
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) didorong menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT secara substantif. Putusan tersebut membatalkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
“Pelaksanaan putusan pengadilan haruslah substantif, bukan kosmetik,” kata Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI Periode 2024–2026, Rifyan Ridwan Saleh, melalui keterangan tertulis, Jumat, 12 Desember 2025.
Menurut Rifyan, negara hukum mewajibkan setiap lembaga negara, termasuk MK harustunduk pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini merupakan manifestasi asas supremacy of law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Putusan pengadilan bukan sekadar catatan administratif. Ia adalah perintah hukum. Jika sebuah SK telah dibatalkan, maka tidak boleh dihidupkan kembali melalui produk administratif yang hanya berbeda nomor tetapi sama substansi,” ungkap Rifyan.
Merujuk PMK Nomor 1 Tahun 2023, Rifyan menekankan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) merupakan perangkat etik. Putusannya hanya mengikat di ranah etik, bukan ranah administrasi jabatan.
Menurut dia, MKMK tidak memiliki kewenangan administratif untuk menentukan ataupun memvalidasi pengangkatan Ketua MK. Oleh karena itu, penggunaan putusan etik MKMK sebagai justifikasi administratif untuk mempertahankan atau meneguhkan pimpinan MK berpotensi melampaui kewenangan (ultra vires) serta dapat dikategorikan sebagai detournement de pouvoir atau penyalahgunaan tujuan kewenangan.
Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi melalui Rapat Pleno Hakim (RPH). Mekanisme konstitusional ini, menurut Rifyan, tidak dapat digantikan oleh skema administratif atau interpretasi etik apa pun.
| Baca juga: Terima Gugatan Anwar Usman, PTUN Jakarta Dinilai Abaikan Alasan MKMK |
.jpeg)