Ratusan warga Israel berunjuk rasa di Tel Aviv pada 2 Agustus 2025 dalam menyerukan diakhirinya perang di Gaza. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 6 October 2025 15:02
Gaza: Dua tahun setelah perang Gaza dimulai, kecaman dunia terhadap serangan Israel terus meningkat, bahkan di dalam negeri Israel itu sendiri. Pada Jumat pagi yang terik di bulan September, puluhan warga Israel mendatangi pagar perbatasan Gaza. Mereka bukan tentara, melainkan aktivis yang menentang pengepungan terhadap wilayah tersebut.
Para demonstran menyerukan sanksi internasional terhadap Israel dan menuntut diakhirinya “genosida dan rezim apartheid Zionis.”
“Kami tahu pemerintah tak akan berhenti, jadi kami meminta dunia memboikot kami, sesederhana itu,” ujar aktivis Sapir Sluzker Amran kepada CNN, Minggu, 5 Oktober 2025.
Namun hanya beberapa kilometer dari lokasi unjuk rasa, kontras pandangan terlihat jelas. Di kota perbatasan Sderot, sejumlah warga menikmati pemandangan kehancuran Gaza dari menara pandang, bahkan menjadikannya tontonan.
“Saat melihat bangunan di Gaza masih berdiri, saya marah. Saya ingin Israel melanjutkan sampai semuanya rata,” kata Rafael Hemo, warga Sderot.
Bagi banyak warga Israel, tragedi 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang dianggap sebagai “9/11 versi Israel,” luka nasional yang belum sembuh. Meski ratusan ribu warga Israel turun ke jalan setiap Sabtu untuk menuntut diakhirinya perang, fokus utama mereka tetap pada pembebasan 48 sandera yang tersisa di Gaza, sementara isu kemanusiaan warga Palestina jarang diangkat.
Survei Universitas Ibrani Yerusalem menunjukkan 62 persen warga Israel percaya “tidak ada warga sipil tak bersalah di Gaza.”
Peneliti media Ayala Panievsky menyebut media arus utama Israel turut memperkuat narasi tersebut dengan “menghapus kemanusiaan warga Palestina dari layar.” Ia menemukan hanya 3% liputan perang menampilkan penderitaan warga Gaza.
“Yang ditayangkan hanyalah tentara kita. Penderitaan warga Gaza disensor,” kata Panievsky.