Krisis Iklim Dongkrak Harga Cokelat Valentine

Ilustrasi. Foto: Freepik.

Krisis Iklim Dongkrak Harga Cokelat Valentine

Ade Hapsari Lestarini • 14 February 2025 15:29

Jakarta: Perayaan Hari Kasih Sayang atau Valentine, yang identik dengan memberikan cokelat pada orang terkasih, kini terancam dampak krisis iklim. Perubahan iklim, yakni curah hujan tinggi dan panas ekstrem, memangkas produksi kakao sehingga mengkerek harga bahan baku cokelat ini.

Laporan terbaru dari organisasi amal internasional Christian Aid "Cocoa Crisis: How Chocolate is Feeling the Bite of Climate Change", mengungkapkan perubahan iklim telah menghantam produksi kakao di Ghana dan Côte d’Ivoire, dua negara penghasil kakao terbesar di dunia. Akibatnya, lonjakan harga kakao hingga mencapai rekor tertinggi sebesar USD12.605 per ton pada Desember 2024, dan juga menempatkan masa depan petani kakao dalam risiko yang besar. Harga kakao telah melonjak 400 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Kemudian, laporan Climate Central "Climate change is heating up West Africa's cocoa belt", mencatat, pada 2024, perubahan iklim memperpanjang periode hari dengan suhu tinggi di atas 32°C selama enam pekan di 71 persen wilayah penghasil kakao di Côte d'Ivoire, Ghana, Kamerun, dan Nigeria, suhu yang terlalu panas untuk penanaman kakao. Pola curah yang tidak menentu di Afrika Barat selama musim panen juga berdampak buruk pada kakao.

Sementara Afrika Barat mendominasi produksi kakao global, Indonesia menempati posisi ketiga dengan 11,4 persen dari total produksi dunia pada 2022 atau sekitar 667 ribu ton.


Ilustrasi. Foto: Freepik

 

Baca juga: Bukan Hanya untuk Pasangan, Ini 5 Jenis Tipe Cokelat Valentine di Jepang
 

Dampak krisis iklim bisa negatif ke industri cokelat


Policy Strategist CERAH Wicaksono Gitawan mengatakan dampak krisis iklim jika didiamkan akan berdampak negatif pada industri cokelat di Indonesia di masa depan.

"Komoditas cokelat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk Indonesia. Sulawesi Tengah merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia, mencapai 128.154 ton dari keseluruhan 720.660 ton pada 2022," ungkap dia, dalam keterangan tertulis, Jumat, 14 Februari 2025.

Dia menambahkan, negara-negara global, termasuk Indonesia, harus mengambil langkah serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, demi kelangsungan industri ini.

"Selain berada dalam top 3 produsen cokelat global, Indonesia juga memiliki pasar cokelat nasional yang besar. Aksi nyata Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi harus segera didorong, demi menjaga mata pencaharian petani dan produsen cokelat nasional serta berjalannya roda perekonomian," tegas Wicaksono.

Direktur Operasi Kernow Chocolate Andy Soden membenarkan produksi kakao global empat tahun terakhir ini telah terdampak perubahan iklim ekstrem, seperti El Nino dan La Nina. Perubahan cuaca yang tak menentu selama siklus penanaman dan panen, telah secara drastis mengurangi produksi kakao.

"Pasokan yang rendah dan permintaan global yang tinggi telah mendorong harga pasar kakao dari yang relatif stabil menjadi lebih dari 10 ribu poundsterling per ton. Bagi produsen kecil seperti kami, ini bisa membuat kami gulung tikar dalam jangka panjang karena harga grosir untuk 2025 hampir melampaui harga eceran kami pada 2023," tambah Soden.

"Menanam kakao adalah mata pencaharian penting bagi banyak masyarakat miskin di seluruh dunia, tetapi perubahan iklim yang disebabkan manusia mengancam sumber penghasilan ini. Perubahan iklim yang sebagian besar dipicu oleh emisi gas rumah kaca dari negara-negara utara telah menyebabkan kekacauan global, dengan petani kakao yang paling merasakan dampaknya. Kita perlu mengurangi emisi dan menyediakan pembiayaan iklim yang ditargetkan untuk membantu petani kakao beradaptasi," ujar Direktur Kebijakan dan Kampanye Publik Christian Aid, Osai Ojigho.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Ade Hapsari Lestarini)