Podium MI: Rojali-Rohana

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Rojali-Rohana

Abdul Kohar • 26 July 2025 05:56

SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis. Apa itu? Lagi-lagi soal kemampuan daya beli sebagian besar masyarakat kita yang masih nyungsep. Maksud hati ingin optimistis bahwa ekonomi dan daya beli akan baik pada akhirnya di tahun ini.

Nyatanya, daya beli belum kunjung terangkat, malah ndlosor. Pengangguran masih tinggi. Pemutusan hubungan kerja (PHK) seolah jadi menu harian informasi media. Banyak orang tak sanggup membeli, tapi ingin tetap eksis. Di kalangan kelas menengah perkotaan, situasi itu kini memunculkan istilah 'rojali' alias 'rombongan jarang beli'.

'Rojali' itu 'bertetangga dekat' dengan 'rohana' alias 'rombongan hanya nanya-nanya'. Para 'rojalian' dan 'rohanaan' ini umumnya anak muda atau keluarga muda. Mereka kerap mengunjungi mal-mal, terutama pada Sabtu dan Minggu. Kadang-kadang mereka mampir di toko-toko di mal, di depan etalase, tapi lebih sering melihat doang, enggak membeli barang.

Mereka nanya-nanya, tapi saat ditanya, "Mau dibungkus?", jawabnya, "Entar dulu deh." Makanya mereka disebut 'rohana', yakni 'rombongan hanya nanya-nanya'. Dua-duanya sama: sama-sama melihat-lihat, memegang-megang, bertanya-tanya sonder membeli.
 

Baca juga: 

'Rojali' dan 'Rohana' Jadi Biang Kerok Omzet Mal Ambles


Seorang teman meninjau fenomena itu dari sisi psikologi sosial. Kata dia, fenomena 'rojali-rohana' itu mencerminkan dorongan untuk tetap eksis secara sosial dalam situasi perekonomian yang sulit. Karena ada gelombang PHK, orang-orang mencari pelarian sosial.

Mereka mencari tempat mereka bisa merasa 'terhubung' tanpa harus mengeluarkan uang. Karena itulah, jalan-jalan bareng menjadi bentuk dukungan emosional. Mereka bisa saling menguatkan. Situasi itu sekaligus dijadikan cara untuk mempertahankan citra diri yang ditampakkan 'masih baik-baik saja' di tengah tekanan finansial.

Hal itu, tandas sang teman yang memang ahli di bidang psikologi, menandakan pergeseran dari transactional behavior menuju experiential behavior. Dalam situasi tekanan finansial seperti saat ini, mereka lebih tertarik pada pengalaman, merasakan atmosfer, konten medsos, dan interaksi sosial ketimbang membeli barang.

Mereka juga terus menghitung kebutuhan. Di sela-sela itu, mereka memutuskan untuk menunda pembelian, berusaha membandingkan harga dahulu, atau sekadar menghindari konsumsi dengan jalan-jalan karena tahu prioritas keuangan sedang berubah.

Namun, karena mereka tetap ingin eksis, tetap hadir (entah dalam pergaulan atau dalam 'ingatan') mereka memilih menjadi 'rojali dan rohana'. Di tengah kesulitan ekonomi, mereka tetap ingin tampil sebagai bagian dari tren, setidaknya saat berbincang-bincang. Setidaknya, dengan bertanya-tanya atau melihat-lihat, mereka tahu tren terbaru. Mereka tidak membeli, tapi hadir. Mereka tetap eksis walau tidak konsumtif.
 
Baca juga: 

Bonus Demografi Bisa Jadi Malapetaka Kalau 19 Juta Lapangan Kerja Cuma 'Janji Doang'


"Bukan karena mereka tidak mau membeli, melainkan karena realitas dan akal sehat memaksa mereka untuk menunggu waktu yang tepat," sang kawan menjelaskan.

Kian ke sini, jumlah mereka kian banyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang menyebutkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun. Namun, penurunan angka TPT tidak serta-merta menandakan kondisi pasar tenaga kerja benar-benar membaik. Meski data menunjukkan TPT menurun, jumlah pengangguran secara absolut justru meningkat.

Dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) edisi Februari 2025, BPS melaporkan TPT turun dari 4,82% menjadi 4,76% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, proporsi jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja berkurang. Namun, di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, lebih dari 18 ribu pekerja terkena PHK dalam dua bulan pertama 2025.

Hal itu bisa terjadi karena jumlah penduduk yang bekerja bertambah lebih cepat daripada jumlah penganggur. Dengan kata lain, tingkat pengangguran terbuka memang menurun, tetapi total jumlah orang yang menganggur tetap bertambah.

Dominannya jumlah pekerja informal menjadi salah satu kerentanan terbesar dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Berdasarkan data Sakernas Februari 2025, terdapat 86,58 juta pekerja di sektor informal, sedangkan jumlah pekerja formal sebanyak 59,19 juta orang. Itu artinya, mayoritas tenaga kerja di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan sosial secara memadai.

Karena itulah, bila kondisi seperti itu dianggap 'baik-baik saja', jangan heran jika 'rojali-rohana' kian merajalela. Walhasil, banyak mal tutup. Mereka tak sanggup membayar 'biaya tetap yang tetap jadi biaya' karena barang tidak dibeli, hanya dilihat-lihat dan ditanya-tanya. Jangan heran pula bila suatu saat, dari sudut mal, terdengar suara penjaga toko yang jengkel sambil berkata, "Kamu naannnyak...."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)