Donald Trump, Volodymyr Zelensky, Vladimir Putin. (CNN)
Riza Aslam Khaeron • 2 March 2025 12:48
Jakarta: Donald Trump dan Volodymyr Zelensky kembali menjadi sorotan setelah pertemuan Oval Office dalam rangka membahas kesepakatan mineral Ukraina untuk jaminan keamanan dari Amerika Serikat (AS) pada akhir Februari 2025 berujung pada ketegangan politik yang semakin dalam.
Trump, yang kerap memberikan pujian kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, justru bersikap keras terhadap Presiden Ukraina. Sebelum bertemu dengan Zelensky, Trump memuji Putin dalam pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Inggris, menyebut Putin "orang yang bisa dipercaya".
“Saya pikir dia akan menepati janjinya. Saya sudah mengenalnya sejak lama, dan saya percaya dia akan melakukannya. Saya tidak percaya dia akan melanggar janjinya. Saya tidak berpikir dia akan mundur setelah kami mencapai kesepakatan. Saya pikir kesepakatan ini akan bertahan sekarang,” ucap Trump di Kantor Oval pada 27 Februari 2025, melawan narasi Rusia bukan pihak yang bisa dipercaya
Perbedaan sikap ini bukanlah hal baru, tetapi telah berkembang sejak bertahun-tahun lalu. Apa yang membuat Trump lebih menyukai Putin daripada Zelensky? Ini penjelasannya.
Trump dan Putin: Strategi Putin yang Memanipulasi Ego Trump
Trump selalu menganggap Putin sebagai sosok pemimpin kuat yang dapat diajak bekerja sama. Mengutip Alexander Baunov, analis senior dari Carnegie Endowment for International Peace pada Minggu, 2 Maret 2025, Putin memahami keinginan Trump untuk tampil sebagai pemimpin yang tegas dan cepat mengambil keputusan.
Oleh karena itu, Putin menggunakan strategi memberikan "hadiah politik" yang dapat diklaim Trump sebagai kemenangan besar.
Salah satu contohnya adalah pembebasan Marc Fogel, warga AS yang ditahan di Rusia atas tuduhan narkoba. Pembebasan ini dilakukan menjelang komunikasi langsung antara Trump dan Putin.
"Putin mencari cara untuk mengeksploitasi keinginan Trump agar terlihat cepat dan tegas," tulis Baunov. Dengan membebaskan Fogel, Putin menciptakan alasan bagi Trump untuk berbicara dengannya dan mengklaimnya sebagai kemenangan pribadi.
Putin juga memainkan narasi bahwa ia bersedia menghentikan perang di Ukraina jika kondisi yang sesuai terpenuhi. Trump yang sudah berjanji saat kampanye untuk menghentikan perang Ukraina melihat Putin sebagai "mitra" yang bersedia membantu Trump mewujudkan janji tersebut.
"Putin siap memberikan kemenangan serupa kepada Trump terkait Ukraina: dia memulai perang dan akan menghentikannya jika kondisi tertentu terpenuhi dan kata-kata yang tepat diucapkan," ungkap Baunov. Hal ini menunjukkan bagaimana Putin membentuk citranya sebagai pemimpin yang dapat memberikan solusi, meskipun ia sendiri yang memulai konflik.
Tidak hanya itu, Kremlin juga menunjukkan kesiapannya untuk membantu Trump dengan memberikan narasi yang ingin didengar oleh mantan presiden AS tersebut.
"Putin menunjukkan bahwa ia bersedia mengatakan kepada Trump apa yang ingin didengarnya: bahwa pemilu 2020 dicurangi, bahwa ia akan menghentikan perang Ukraina jika berkuasa, dan bahwa Zelensky menipu Amerika," tulis Baunov. Dengan cara ini, Putin memperkuat persepsi Trump bahwa dirinya adalah satu-satunya pemimpin yang mampu mengendalikan Rusia dan situasi global.
Trump pun tampaknya termakan oleh strategi ini. Dalam pernyataannya, ia mengklaim bahwa perang di Ukraina terjadi karena kepemimpinan Joe Biden dan bahwa "jutaan orang telah meninggal dalam perang yang tidak akan pernah terjadi jika saya menjadi presiden." Dalam narasi ini, Putin bukanlah penyebab utama perang, melainkan Biden dan Zelensky yang dianggap gagal menghindarinya.
Trump dan Zelensky: Ketegangan Sejak Pemakzulan
Hubungan buruk Trump dengan Zelensky telah berakar sejak lama, terutama setelah skandal panggilan telepon tahun 2019 yang menyebabkan pemakzulan pertama Trump. Mengutip Politico, Trump dituduh menekan Zelensky agar menyelidiki Joe Biden dan putranya, Hunter Biden, sebagai syarat untuk mencairkan bantuan militer ke Ukraina.
Sejak saat itu, Trump melihat Ukraina sebagai ancaman politik yang berkontribusi terhadap kesulitan yang ia hadapi di Washington.Trump semakin menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Zelensky dalam berbagai pernyataan, termasuk dalam unggahan di Truth Social pada 19 Februari 2025.
Dalam unggahan tersebut, Trump menyebut Zelensky sebagai "komedian yang hanya berhasil secara moderat" yang telah "membujuk Amerika Serikat untuk menghabiskan 350 miliar dolar dalam perang yang tidak bisa dimenangkan" dan "tidak pernah harus dimulai."
Trump juga mengeluhkan bahwa Amerika Serikat telah menghabiskan "200 miliar dolar lebih banyak dari Eropa" dan menuding Zelensky tidak transparan mengenai dana bantuan, dengan mengatakan bahwa "setengah dari uang yang kami kirimkan kepadanya HILANG."
Trump juga menyebut Zelensky sebagai "diktator tanpa pemilu" dan memperingatkannya agar "bergerak cepat atau dia tidak akan memiliki negara yang tersisa." Trump menuduh Zelensky hanya ahli dalam "memainkan Biden seperti biola," menudingnya sebagai pemimpin yang gagal dan menempatkan Ukraina dalam kondisi hancur.
Pada 28 Februari 2025, ketegangan antara keduanya kembali mencuat saat pertemuan mereka di Gedung Putih berubah menjadi konfrontasi terbuka. Mengutip The New York Times, Trump tampak kesal ketika Zelensky dengan tegas menyebut Putin sebagai agresor utama dalam perang Ukraina.
"Dia membenci kami," kata Zelensky kepada Trump. "Ini bukan tentang saya, dia membenci rakyat Ukraina. Dia tidak menganggap kami sebagai bangsa." Namun, Trump menolak narasi tersebut dan justru membela Putin dengan mengatakan bahwa "dia harus melewati penyelidikan palsu Rusia" yang dilakukan oleh AS.
Trump bahkan secara terang-terangan menegur Zelensky karena dianggap tidak cukup berterima kasih kepada AS atas bantuan yang telah diberikan. "Ini bukan pertandingan cinta," katanya, seraya menambahkan bahwa "itulah sebabnya Anda berada dalam situasi ini sekarang."
Faktor Politik: Rusia Sebagai Mitra, Ukraina Sebagai Ancaman
Menurut Politico, Trump melihat Ukraina sebagai negara yang bertanggung jawab atas banyak masalah yang dihadapinya selama menjabat sebagai presiden, mulai dari skandal Paul Manafort, penyelidikan pemilu 2016, hingga pemakzulan.
"Trump membenci Ukraina," kata Lev Parnas, mantan sekutu Trump yang kemudian berbalik melawannya. "Dia dan orang-orang di sekitarnya percaya bahwa Ukraina adalah penyebab dari semua masalah Trump."
Sebaliknya, Trump melihat Putin sebagai pemimpin yang bisa dia ajak bekerja sama untuk menyelesaikan konflik global. Trump juga cenderung menempatkan Rusia dalam posisi yang lebih positif dibandingkan Ukraina, dengan alasan bahwa "Putin ingin menyelesaikan perang" sementara "Zelensky terlalu menuntut dan tidak mau berkompromi."
Hubungan antara Trump, Putin, dan Zelensky sangat dipengaruhi oleh faktor politik dan ego pribadi Trump. Putin mampu memanfaatkan kelemahan Trump dengan memberikan keuntungan politik yang dapat diklaim sebagai kemenangan, sementara Zelensky justru menjadi pengingat akan skandal yang pernah mengguncang kepresidenannya.
Oleh karena itu, Trump cenderung lebih bersimpati kepada Putin dan bersikap keras terhadap Zelensky, sebuah dinamika yang kemungkinan besar akan terus berlanjut di masa depan.