Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 16 November 2025 08:51
Pretoria: Pemerintah Afrika Selatan sedang menyelidiki sebuah penerbangan “misterius” yang membawa 153 pengungsi Palestina tanpa dokumen yang lengkap pada Kamis lalu, kata Presiden Cyril Ramaphosa.
“Ini adalah orang-orang dari Gaza yang entah bagaimana bisa naik pesawat, melewati Nairobi, dan tiba di sini,” ujar Ramaphosa kepada wartawan, dikutip dari Anadolu Agency, Minggu, 16 November 2025. Ia menambahkan bahwa badan intelijen serta Departemen Dalam Negeri telah memulai investigasi.
Kamis lalu, Afrika Selatan memberikan pengecualian visa 90 hari bagi 153 warga Palestina yang tiba dari Kenya untuk mencari suaka, meski sebelumnya mereka sempat ditolak masuk karena tidak menjalani wawancara wajib dan tidak memiliki stempel keberangkatan di paspor.
Para pengungsi tersebut menunggu lebih dari 10 jam di landasan OR Tambo International Airport dekat Johannesburg untuk menunggu keputusan izin masuk atau deportasi. Berita ini memicu kemarahan sejumlah aktivis di negara yang dikenal sebagai pendukung kuat hak-hak Palestina.
Dalam pernyataan tertulis, Departemen Dalam Negeri menjelaskan bahwa petugas Otoritas Pengelolaan Perbatasan (BMA) menemukan sejumlah paspor tanpa stempel keberangkatan, serta beberapa penumpang yang tidak memiliki tiket kembali atau alamat tempat tinggal di Afrika Selatan. Ketika izin masuk akhirnya diberikan, 23 dari mereka telah melanjutkan penerbangan ke negara lain.
Sementara itu, Kedutaan Besar Palestina di Afrika Selatan menyatakan di media sosial bahwa 153 warga Palestina tersebut datang “dari Gaza melalui Bandara Ramon dan Nairobi tanpa pemberitahuan atau koordinasi sebelumnya.” Mereka menyebut penerbangan itu diatur oleh sebuah “organisasi tidak terdaftar dan menyesatkan.”
Kedutaan menambahkan bahwa organisasi tersebut “memanfaatkan kondisi kemanusiaan yang tragis” di Gaza, menipu keluarga, mengumpulkan uang, dan memfasilitasi perjalanan secara tidak resmi dan tidak bertanggung jawab, lalu “mencuci tangan” ketika muncul masalah.
Imtiaz Sooliman, pendiri lembaga kemanusiaan Gift of the Givers, mengatakan kepada penyiar SABC bahwa Israel bertanggung jawab atas masuknya para pengungsi ini tanpa koordinasi yang tepat.
“Ini terdengar sangat mencurigakan. Ini bukan penerbangan pertama; ini yang kedua. Ini tampaknya merupakan upaya terkoordinasi dari Israel untuk melakukan proses pembersihan etnis,” ujarnya. Ia mengatakan banyak orang membayar “harga tinggi kepada organisasi depan Israel” sebelum dipindahkan ke Shalom dan Pangkalan Militer Ramon untuk diterbangkan ke sejumlah negara.
“Sebagian penumpang dari penerbangan pertama bahkan tidak tahu tujuan akhir mereka. Tidak ada stempel keluar, dan ketika tiba di negara lain mereka makin dipersulit, seperti yang terjadi di Afrika Selatan,” tambah Sooliman.