Museum Sumpah Pemuda. Foto: laman museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id
Whisnu Mardiansyah • 14 October 2025 15:24
Jakarta: Di tengah denyut nadi ibu kota yang tak pernah berhenti, tepatnya di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat, sebuah bangunan bergaya Indische Empire berdiri kokoh. Dari luar, ia tampak sederhana, tak berbeda jauh dengan bangunan kolonial lain di sekitarnya. Namun, dinding-dindingnya menyimpan kenangan tentang satu momen yang mengubah haluan sejarah bangsa Indonesia. Inilah Museum Sumpah Pemuda, yang dahulu adalah sebuah rumah kos sederhana, tempat di mana ikrar persatuan bangsa pertama kali dikumandangkan.
“Rumah ini menjadi saksi bisu bagaimana kami, para pemuda dari berbagai suku, bersatu untuk pertama kalinya,” ujar Sugondo Djojopuspito, Ketua Kongres Pemuda II, dalam sebuah catatan sejarahnya. Pernyataan itu menggambarkan suasana Sabtu, 28 Oktober 1928, hari bersejarah yang hingga kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Pada dekade 1920-an, Batavia merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat pendidikan Hindia Belanda. Pelajar-pelajar pribumi terbaik berdatangan dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain untuk menimba ilmu di institusi-institusi ternama seperti STOVIA (Sekolah Dokter) dan Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Kehidupan sebagai pelajar perantau di Batavia tidaklah mudah. Biaya hidup tinggi dan diskriminasi dalam perumahan memaksa mereka mencari tempat tinggal yang terjangkau dan inklusif. Kawasan Kramat Raya, Salemba, dan Menteng pun menjadi ‘kota pelajar’ zaman itu. Di sinilah rumah milik Sie Kok Liong, seorang warga keturunan Tionghoa, hadir sebagai jawaban.
Sie Kok Liong bukan sekadar pemilik rumah kos. Ia adalah seorang Tionghoa progresif yang bersimpati pada perjuangan para pelajar bumiputra. Ia memahami kesulitan mereka dan dengan sukarela membuka pintu rumahnya sebagai tempat kos yang murah dan strategis.
Sikap terbuka dan dukungannya menjadikan rumah di Kramat Raya 106 lebih dari sekadar tempat tidur. Rumah itu berubah menjadi ruang diskusi, laboratorium gagasan, dan tempat persemaian nasionalisme. Para pelajar bebas membaca koran pergerakan, berdebat tentang masa depan bangsa, dan melampaui sekat-sekat kesukuan. Peran Sie Kok Liong menjadi bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah gerakan kolektif lintas etnis.
Rumah dua lantai dengan halaman luas itu berfungsi sebagai melting pot atau wadah peleburan budaya. Ruang tamu di lantai bawah menjadi arena diskusi panas, sementara kamar-kamar di lantai atas dihuni pelajar dari berbagai latar belakang.
Nama-nama besar yang menghuni atau kerap berkunjung ke rumah ini antara lain Sugondo Djojopuspito (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia/PPPI), Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin Harahap (Jong Bataks Bond), Johannes Leimena (Jong Ambon), dan Wage Rudolf Supratman.
Dari kamar-kamar sempit beralas meja kayu dan penerangan lampu minyak, gagasan-gagasan besar tentang “Indonesia” dirumuskan. Di tempat inilah kesadaran kolektif untuk meninggalkan fanatisme kedaerahan dan bersatu sebagai satu bangsa mengkristal.
Puncak dari segala proses persiapan itu adalah diselenggarakannya Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928. Beberapa sesi kongres berlangsung di tiga gedung berbeda. Namun, sesi penutupan yang paling bersejarah justru digelar di rumah Kramat Raya 106. Tempat ini dipilih karena dinilai netral, akrab, dan mudah dijangkau semua peserta.
Di ruang utama lantai bawah, sekitar 700 pemuda dari berbagai organisasi berkumpul. Mereka mewakili Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, dan banyak lagi. Suasana ruangan tegang penuh harap, namun semangat persatuan terasa menggebu.
Dipimpin Sugondo Djojopuspito, kongres berjalan lancar. Pada sesi terakhir, Muhammad Yamin menyodorkan selembar kertas kepada Sugondo dan berbisik, “Saya mempunyai sebuah ikrar persatuan yang bisa membakar semangat rakyat.” Isi kertas itulah yang kemudian dibacakan sebagai Sumpah Pemuda, berisi tiga ikrar sakti: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.
Momen paling mengharukan terjadi di penghujung acara. Seorang pemuda bernama Wage Rudolf Supratman maju dengan biolanya. Atas permintaan para hadirin, ia memainkan sebuah lagu ciptaannya, “Indonesia Raya”. Pemerintah kolonial melarang lagu itu dinyanyikan dengan lirik. Namun, alunan instrumen biola Supratman saja sudah cukup menggugah, menyentuh relung kalbu setiap orang yang hadir, dan membayangkan sebuah negeri merdeka bernama Indonesia.
Pasca-Kongres Pemuda II, rumah itu tetap menjadi pusat aktivitas pergerakan hingga masa pendudukan Jepang. Sepanjang waktu, bangunan ini sempat beberapa kali berganti fungsi dan kepemilikan.
Baru pada 1972, pemerintah melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkannya sebagai Cagar Budaya Nasional. Setelah melalui proses renovasi untuk mengembalikan keasliannya, bangunan ini diresmikan sebagai Museum Sumpah Pemuda pada 20 Mei 1973 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Mashuri SH.
Kini, museum tersebut menjadi gudang penyimpanan memori nasional. Koleksinya antara lain:
Biola asli milik W.R. Supratman.
Replika naskah asli Sumpah Pemuda.
Foto-foto dokumentasi Kongres Pemuda I dan II.
Bendera dan arsip organisasi pemuda kedaerahan.
Replika ruang sidang kongres yang diatur semirip mungkin dengan kondisi saat itu.
Rumah Kramat Raya 106 memiliki makna filosofis yang dalam. Ia adalah simbol bahwa ruang sosial yang sederhana dapat melahirkan ide besar yang mengubah nasib bangsa. Bangunan ini menjadi bukti fisik bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan sadar kaum terpelajar yang dimotori dari akar rumput.
Sejarawan ternama Indonesia, Taufik Abdullah, pernah menyatakan, “Rumah itu adalah ruang publik pertama yang benar-benar ‘Indonesia’. Di sanalah identitas kedaerahan ditanggalkan dan identitas kebangsaan dikenakan.”
Di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Sumpah Pemuda tetap aktif sebagai destinasi edukasi dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Ribuan pelajar, mahasiswa, dan wisatawan mengunjunginya setiap tahun untuk merasakan langsung atmosfer sejarah yang terpancar dari setiap sudutnya.
Museum ini tidak hanya menjadi monumen statis, tetapi juga ruang dinamis dengan pameran tematik, diskusi, dan aktivitas kebudayaan. Digitalisasi koleksi juga terus dilakukan untuk menjangkau generasi muda di dunia maya.
Sebuah prasasti peringatan berdiri tegak di halaman museum, berbunyi: “Di rumah inilah, pada tanggal 28 Oktober 1928, putra-putri Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda.”
Museum Sumpah Pemuda adalah monumen hidup. Ia mengingatkan kita bahwa persatuan Indonesia dirancang dan diikrarkan oleh anak-anak muda dari berbagai suku, agama, dan latar belakang ekonomi di sebuah rumah kos yang sederhana. Dari ruang kecil itulah cita-cita besar tentang Indonesia Merdeka disemaikan.
Bangunan di Kramat Raya 106 bukan sekadar alamat di peta, melainkan alamat sejarah setiap bangsa Indonesia. Ia mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk bersatu meraih satu tujuan mulia: kemerdekaan. Api Sumpah Pemuda 1928 harus terus menyala dalam sanubari setiap generasi, menjadi penerang dalam merajut keindonesiaan di era kekinian.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.