Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Foto: MI/Rommy Pujianto
Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pemerasan yang dilakukan personel merupakan penyakit kronis di tubuh Polri. Dia menduga pemerasan tidak hanya dilakukan kepada masyarakat, tetapi sesama personel Polri.
"Pemerasan itu penyakit kronis di kepolisian, karena tidak hanya terjadi eksternal, internal saja kabarnya naik pangkat dan jabatan ada tarifnya," kata Fickar kepada Media Indonesia, Senin, 27 Januari 2025.
Fickar mengatakan ada kekeliruan pemahaman kurikulum pendidikan dari personel yang terlibat pemerasan, yakni pemahaman jabatan di organisasi itu seluruhnya dalam kerangka pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dia mengatakan personel yang bermasalah justru mencari uang atau berbisnis ketika bertugas.
"Oknum-oknum polisi yang terjebak melakukan kejahatan itu keliru memahaminya sebagai urusan bisnis, sehingga langkahnya selalu mencari untung, padahal sudah dibayar gajinya oleh rakyat melakui pajak pada negara," kata dia.
Dia mengatakan seharusnya hukuman bagi pelaku pemerasan ditekankan pada program perekrutan. "Sehingga jika terjadi penyimpangan hukumannya langsung pecat," ucap dia.
Peristiwa dugaan pemerasan oleh seorang perwira menengah polisi berpangkat AKBP ini terjadi saat penanganan kasus pembunuhan remaja berinisial N, 16 dan X, 17 yang ditangani Polres Jaksel. Kedua korban tewas diduga setelah disetubuhi dan dicekoki narkoba.
Laporan kasus tersebut teregister dengan nomor: LP/B/1181/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel dan LP/B/1179/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel pada April 2024. Tersangka dalam kasus ini adalah Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartanto, anak bos Prodia.
Dalam perjalanan kasusnya, polisi berpangkat AKBP yang memimpin kasus tersebut diduga meminta uang senilai Rp20 kepada Bos Prodia. Dengan iming-iming menghentikan penyidikan dan membebaskan anak Bos Prodia tersebut dari jeratan hukum.
Tak hanya itu, polisi disebut mengintimidasi keluarga korban agar mencabut laporan. Dengan mengiming-imingi uang kompensasi senilai Rp50 juta yang diserahkan melalui seseorang inisial J dan Rp300 juta dikasih melalui R pada Mei 2024.
Peristiwa pemerasan ini terkuak usai adanya gugatan perdata dari pihak korban pemerasan terhadap AKBP Bintoro tertanggal 6 Januari 2025. Gugatan terdaftar dengan nomor: 30/Pdt.G/2025/PN JKT.Sel.
Dengan nama penggugat Arif Nugroho (AN) dan Muhammad Bayu Hartoyo. Sedangkan, tergugat ada 5 yakni AKBP Bintoro, AKP Mariana, AKP Ahmad Zakaria, Evelin Dohar Hutagalung, dan Herry.
Korban menuntut pengembalian uang Rp1,6 miliar; menyerahkan mobil Lamborghini Ampetador, motor Sporstar Iron, dan motor BMW HP4 yang pernah disita dalam kasus pembunuhan dengan tersangka Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartanto, anak Bos Prodia.