Ini Spesifikasi Biola WR Supratman Saat Kumandangkan Instrumen Indonesia Raya di Sumpah Pemuda

Patung WR Supratman menyanyikan Indonesia Raya di depan peserta Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda. (Foto: MTVN/Dheri A)

Ini Spesifikasi Biola WR Supratman Saat Kumandangkan Instrumen Indonesia Raya di Sumpah Pemuda

Whisnu Mardiansyah • 15 October 2025 14:50

Jakarta: Sebelum dinyanyikan oleh jutaan orang, sebelum dikumandangkan oleh orkestra-orkestra megah, "Indonesia Raya" lahir dari suara yang lirih dan penuh khidmat. Suara itu berasal dari gesekan senar biola milik Wage Rudolf Supratman. Instrumen musik sederhana itu menjadi medium bagi sebuah melodi yang menggugah kesadaran bangsa untuk bersatu.

Pada malam penutupan Kongres Pemuda II, di sebuah rumah kos di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul. Mereka bersiap menandatangani ikrar bersejarah, Sumpah Pemuda. Dalam suasana yang tegang namun penuh harap, Supratman maju. Ia tidak berorasi, tetapi mengangkat biolanya.

Dengan gesekan yang mantap, ia memperdengarkan lagu ciptaannya, "Indonesia Raya", untuk pertama kalinya. Lagu itu belum dinyanyikan, hanya dimainkan secara instrumental. Nada-nadanya mengalun lembut, menyusup ke relung hati setiap pendengar, menanamkan benih nasionalisme. “Biola itu bukan sekadar alat musik, melainkan medium perlawanan,” tulis sejarawan musik Suka Hardjana dalam salah satu catatannya. “Supratman menyampaikan pesan nasionalisme lewat nada, bukan peluru.” Peristiwa bersejarah itu terjadi pada Minggu, 28 Oktober 1928.

Nada Persatuan dari Kamar Kos

Rumah kos milik Sie Kok Liong menjadi saksi bisu kelahiran semangat persatuan Indonesia. Di ruang yang tidak terlalu besar itu, perbedaan suku, agama, dan bahasa melebur menjadi satu tekad, Indonesia. Pada momen itulah biola Supratman berbicara. Bagi para pemuda 1928, alunan musik itu adalah seruan halus untuk merdeka. Tidak ada teriakan provokatif, tidak ada senjata, hanya gesekan senar yang mampu menggugah jiwa seluruh bangsa.

Melodi yang lahir dari biola itu menjadi simbol harapan dan perekat di tengah potensi perpecahan. Supratman memainkannya dengan irama pelan dan khidmat. Ia harus berhati-hati karena pemerintah kolonial Belanda dapat menganggapnya sebagai tindakan subversif. Setiap gesekan bow seolah berbisik tentang sebuah impian akan tanah air yang merdeka dan berdaulat.

Profil Sebuah Biola Bersejarah

Biola yang digunakan Supratman malam itu bukanlah instrumen mewah atau bernilai tinggi. Berdasarkan data dari Museum Sumpah Pemuda dan arsip Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, biola tersebut merupakan model "Amatus" atau "Nicolaus Amatus". Model ini adalah tiruan dari gaya pembuatan biola keluarga Amati asal Italia dari abad ke-17.

Meski menyandang nama besar Amatus, biola ini bukan karya asli Nicolaus Amati. Instrumen ini merupakan versi produksi pabrik yang populer dan banyak dipasarkan di Asia dan Eropa pada awal abad ke-20 sebagai alat musik untuk pelajar. Biola itu terbuat dari kayu spruce (jati Belanda) dan maple, jenis kayu yang umum digunakan karena kualitas resonansinya yang hangat dan jernih.

Secara visual, biola ini tampil sederhana tanpa ornamen ukiran, berwarna cokelat tua dengan permukaan yang mengilap akibat usia dan perawatan menggunakan minyak.Justru kesederhanaan inilah yang membuatnya istimewa. Dari sebuah alat musik biasa, tercipta sebuah melodi abadi yang mampu menggugah fondasi nasionalisme dan menyatukan semangat sebuah bangsa.

Spesifikasi dan Upaya Pelestarian

Dokumentasi museum mencatat spesifikasi fisik biola WR Supratman. Biola ini berukuran 4/4 atau ukuran penuh untuk pemain dewasa. Panjang badan biola sekitar 36 sentimeter, dengan lebar maksimum 20 sentimeter dan lebar minimum 11 sentimeter. Ketebalan tepiannya sekitar 4 sentimeter, sementara bagian tengahnya sedikit lebih tebal, mencapai 6 sentimeter.

Leher biola memiliki panjang sekitar 37 sentimeter, sedangkan bow atau penggeseknya memiliki panjang 71 sentimeter. Ukuran standar ini menunjukkan bahwa Supratman telah mahir memainkan instrumen tersebut.

Kini, biola bersejarah itu disimpan dengan sangat hati-hati di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat. Pihak museum menjelaskan, benda yang dipamerkan untuk publik umumnya adalah replika. Biola asli disimpan di ruang konservasi khusus dengan suhu dan kelembapan yang selalu dikontrol dan dipantau.

Konservator museum menggunakan metode pelapisan minyak alami secara berkala untuk mencegah retakan dan mempertahankan kilau alami kayu. Tindakan ini penting mengingat usia instrumen telah hampir satu abad. Penggantian kecil hanya dilakukan pada bagian yang mudah aus, seperti senar dan bridge (jembatan biola), tanpa mengubah bentuk dan struktur aslinya.

Simbol Perjuangan yang Tulus

Dalam pandangan sejarawan, biola Supratman merupakan simbol kejujuran dan kesederhanaan seorang seniman bangsa. Berbagai catatan sejarah dan wawancara dengan keluarga menceritakan, Supratman tidak memiliki banyak harta. Biola itu adalah salah satu barang berharganya yang selalu ia bawa dalam setiap perjalanan, dari Makassar ke Surabaya, lalu ke Batavia (sekarang Jakarta).

Di tengah keterbatasan ekonomi, Supratman memanfaatkan biola sebagai senjata perjuangan. Ia bukan hanya seorang komponis, tetapi juga seorang jurnalis yang tulisannya penuh semangat perlawanan. Ketika lagu "Indonesia Raya" akhirnya dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, Supratman tetap diam-diam memainkannya dalam berbagai pertemuan pergerakan nasional. Biola itu menjadi suara yang tidak bisa dibungkam.

Kini, masyarakat dapat menyaksikan biola bersejarah itu di Museum Sumpah Pemuda, yang terletak tidak jauh dari ruang tempat Kongres Pemuda II berlangsung. Biola tersebut ditempatkan di dalam etalase kaca tebal dengan pencahayaan lembut. Posisinya berdampingan dengan foto hitam putih WR Supratman dan dokumen asli naskah Sumpah Pemuda.

Museum mencatat biola ini sebagai Benda Cagar Budaya Nasional. Berdasarkan inventaris resmi, biola itu melalui proses registrasi pada era 1970-an ketika pemerintah melakukan pengumpulan benda-benda bersejarah dari keluarga Supratman di Surabaya. Sejak saat itu, alat musik tersebut resmi menjadi salah satu koleksi paling berharga dan bermakna yang dimiliki Bangsa Indonesia.

Pihak museum dalam beberapa kesempatan menegaskan, biola tersebut akan terus dirawat sebagai simbol kelahiran semangat persatuan Indonesia. Pemerintah juga memiliki rencana untuk mendigitalisasi koleksi museum. Langkah ini memungkinkan masyarakat dari seluruh dunia dapat mengakses dan melihat biola bersejarah ini melalui platform daring.

Membedah Fakta dan Legenda

Keaslian biola yang disimpan di museum sempat menjadi perdebatan di kalangan peneliti. Sebagian berpendapat, biola itu mungkin hanya tiruan karena Supratman diyakini memiliki lebih dari satu biola sepanjang hidupnya. Namun, bukti kuat justru datang dari keterangan keluarga dan arsip pribadi Supratman. Dokumen-dokumen itu menunjukkan, biola model Amatus itulah yang menjadi instrumen utama yang ia gunakan sejak masa mudanya di Makassar hingga terlibat dalam pergerakan nasional di Batavia.

Fakta bahwa Supratman meninggal dunia pada 1938 dan biola itu diwariskan kepada keluarganya semakin memperkuat keasliannya. Museum juga telah melakukan proses autentikasi visual dengan membandingkan biola tersebut dengan foto-foto lama yang menunjukkan Supratman membawa biola dengan model serupa.

Pada akhirnya, biola Supratman lebih dari sekadar artefak kuno di dalam museum. Ia adalah saksi nyata bagaimana seni dan musik dapat menjadi alat perjuangan yang powerful. Melalui gesekan senarnya, bangsa Indonesia menemukan suara kolektifnya untuk pertama kali. Suara tentang sebuah negeri yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.

Biola itu mengajarkan, perlawanan tidak selalu tentang kekerasan. Ia menunjukkan bahwa kekuatan ide, yang disampaikan dengan keindahan dan ketulusan, dapat menggerakkan gunung dan menyatukan lautan.

WR Supratman wafat pada 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ia tidak sempat menyaksikan lagu ciptaannya dikumandangkan dengan lantang dan resmi sebagai lagu kebangsaan pada 17 Agustus 1945.

Namun, biolanya tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang bangsa ini. Setiap kali "Indonesia Raya" dinyanyikan di upacara-upacara kenegaraan atau di sekolah-sekolah, gema dari biola sederhana itu seakan hidup kembali. Ia mengingatkan seluruh rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan ini lahir dari keberanian, keyakinan, dan impian seorang pemuda biasa yang diungkapkan melalui nada-nada sederhana dari sebatang biola di sebuah kamar kos. Biola itu adalah pengingat abadi bahwa persatuan bisa lahir dari hal-hal yang paling sederhana, bahkan dari seutas senar yang digesek dengan hati.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)